tag:blogger.com,1999:blog-71109453884527220292024-03-21T20:27:28.510-07:00Trading for A Living in Marketing ForexForex | Expert Advisor | Fundamental Analitic Forex | Technical Analitic ForexUnknownnoreply@blogger.comBlogger36125tag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-2939107098797171982011-04-18T04:48:00.001-07:002011-04-18T04:48:32.043-07:00coba<iframe align="center" frameborder="0" height="310" id="http://www.gudangblog.co.cc/" marginheight="0" marginwidth="0" scrolling="no" src="http://cintaindonesiaku.com/tv/indotv/chframe/cintaindonesiaku-campur2.html" width="375"></iframe><br />Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-54898020450208192802010-04-16T18:32:00.000-07:002010-04-16T18:32:24.886-07:00Lexus dan Pohon Zaitun KitaApa yang dipahami para pengambil kebijakan tentang ”penertiban” Gapura Mbah Priuk di Tempat Pemakaman Umum Dobo pada Rabu (14/4)?<br />
Pertama, tentu landasan hukum yang berdasarkan surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) tentang kepemilikan tanah tersebut dan Instruksi Gubernur tentang penertiban. Kedua, upaya meningkatkan keamanan dan kemampuan pengelolaan Terminal Peti Kemas Koja sesuai kode international ship and port facility security.<br />
Meskipun demikian, tampaknya kurang mereka pahami bahwa kawasan sekitar lima hektar tersebut bukan sekadar bernilai komersial, melainkan juga akar identitas yang bagi sebagian orang adalah hal amat pokok.<br />
Tragedi Priok, sebutlah begitu, yang menewaskan tiga orang dan melukai ratusan orang tersebut mengingatkan saya pada tulisan Thomas L Friedman dalam The Lexus and the Olive Tree. Ia menunjukkan betapa persoalan lampau tentang perbaikan materi serta identitas pribadi dan komunal memiliki peran tersendiri dalam sistem globalisasi yang dominan saat ini (1999:25-37).<br />
Friedman melihat, dunia kontemporer berada dalam suatu tegangan antara masa depan (disimbolkan oleh Lexus) dan masa lalu (disimbolkan oleh pohon zaitun). Pohon zaitun mewakili akar kita, jangkar kita, identitas kita, dan tempat kita di dunia. Kita berulang-ulang mempertengkarkan pohon zaitun karena pohon itu menandakan harga diri dan rasa memiliki sebagai hal esensial keberadaan manusia. Lexus mencerminkan hasrat kesejahteraan, kemakmuran, dan modernisasi yang, antara lain, menjadi daya dorong sistem globalisasi saat ini.<br />
Pada pengembangan kawasan Terminal Peti Kemas Koja di bawah pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT), kita tahu bahwa salah satu lalu lintas ekspor impor tersibuk di Indonesia saat ini terjadi di sana. Terhambatnya arus ekspor impor akibat bentrokan pada Rabu lalu saja diperkirakan menimbulkan kerugian ratusan miliar rupiah (Kompas, 15/4).<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<crosshead></crosshead><strong>Kebutuhan internasional</strong><br />
Integrasi Indonesia dengan pasar global telah menumbuhkan kepentingan untuk mengembangkan pengelolaan terminal tersebut sesuai standar internasional tentang pengamanan kapal dan fasilitas pelabuhan. Jika tidak, ada kekhawatiran bahwa kapal berbendera Indonesia akan ditolak di pelabuhan luar negeri dan pelabuhan di Indonesia tidak akan dimasuki kapal luar negeri. Jadi, apakah pengembangan pelabuhan ini merupakan suatu kebutuhan? Hampir pasti ya.<br />
Friedman menyebut bahwa kita tidak mungkin mampu berkembang tanpa tersambung dengan sistem global. Kita juga tidak akan mampu bertahan tanpa sistem operasi yang sesuai untuk mendapatkan manfaat globalisasi dan terlindung dari dampak buruknya. Pengamanan maritim, pencegahan dan peraturan tegas untuk menghindari gangguan terhadap pelayaran dan perdagangan internasional adalah bagian sistem operasi tersebut.<br />
Tanpa sistem operasi, Pelabuhan Tanjung Priok suatu saat nanti barangkali hanya menjadi kawasan cagar budaya untuk mengingat betapa nenek moyang kita mahir melaut dan berdagang. Maka, rencana penataan ulang untuk memperlancar akses dari dan ke pelabuhan serta untuk meningkatkan keamanan pelabuhan adalah masuk akal.<br />
Sekarang kita timbang pandangan warga dan ahli waris yang memiliki ikatan dengan makam Mbah Priuk di kawasan Terminal Peti Kemas Koja.<br />
Mbah Priuk yang dikenal dengan nama Al Imam Al’Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad disebut berlayar dari Palembang menuju Batavia tahun 1700-an untuk menyebarkan ajaran Islam.<br />
Diserang armada Belanda dan diterjang ombak, demikian kisah tersebut, kapal Habib terbalik hingga dia terseret ke suatu semenanjung dengan periuk dan dayung teronggok di samping jenazahnya. Kisah tentang periuk tersebut diyakini menjadi cikal sebutan Priok. Hingga kini makam Mbah Priuk masih ramai diziarahi orang.<br />
Dapat dipahami, kisah Mbah Priuk dan makamnya adalah tambatan identitas bagi sebagian kalangan. Namun, tidak mudah memahami bahwa identitas merupakan sesuatu yang pokok bagi keberadaan manusia.<br />
Amartya Sen dalam Identity and Violence bahkan mengeluhkan betapa sebagian kepustakaan tentang analisis sosial dan ekonomi melakukan reduksi dengan mengabaikan identitas. Pengabaian tersebut mewujud dalam langkah menihilkan pengaruh rasa identitas sebagai nilai yang dipandang penting dan memengaruhi perilaku orang.<br />
Sen (2007:27) menyayangkan bahwa banyak teori ekonomi kontemporer mengandaikan bahwa dalam menentukan arah, tujuan, dan prioritas, orang seolah tidak dipengaruhi oleh identitas dirinya bersama orang lain.<br />
Dalam beberapa hal, upaya ”penertiban” oleh Satpol PP dan polisi terhadap makam Mbah Priuk mengabaikan nilai penting identitas yang, antara lain, bersumber dari keterikatan sebagian kalangan terhadap Mbah Priuk.<br />
Bagaimanapun, kepentingan untuk menyesuaikan diri dengan sistem ekonomi global tidak harus berbenturan dengan pemeliharaan identitas.<br />
<crosshead></crosshead><strong>Perlu keseimbangan</strong><br />
Pandangan tengah Friedman menegaskan bahwa tantangan era globalisasi adalah bagaimana menemukan keseimbangan antara memelihara rasa identitas dan melakukan apa yang diperlukan untuk bertahan dalam globalisasi (1999:35). Tantangan itulah yang dihadapi pada gesekan kepentingan di Priok.<br />
Ketika menjelaskan transisi menuju globalisasi, Friedman mengkhawatirkan ”globalisasi prematur”. Maksudnya adalah negara-negara yang bersiap dengan perangkat keras pasar bebas, tetapi melupakan perangkat lunak untuk mengelola dan mengalokasikan modal dan energi. Saya pikir proses tersebut bukan semata membutuhkan perangkat lunak untuk mengefektifkan kinerja, melainkan untuk mengakomodasi aspek-aspek nonmateri pada diri manusia, di mana identitas termasuk di dalamnya.<br />
Penegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar pemerintah provinsi ataupun kabupaten ”memilih cara atau pendekatan yang baik dalam penertiban meski secara hukum benar” layak diapresiasi. Pendekatan semacam itu akan menambahkan dimensi nonmateri sebagai pertimbangan dalam tatanan ekonomi yang berkeadilan.<br />
Melalui Development as Freedom, Sen (1999:74) menekankan bahwa kebijakan pembangunan sepatutnya tidak semata menimbang peningkatan pendapatan, melainkan berfokus pada pemenuhan kebebasan substantif, yaitu menghargai kapabilitas memilih suatu bentuk kehidupan. Konsekuensinya, perluasan kebebasan substantif bukan hanya memberi tempat bagi upaya integrasi ekonomi nasional dalam tatanan global, tetapi juga membuka peluang menjalani suatu bentuk kehidupan. Priok adalah tegangan antara Lexus dan pohon zaitun bagi kita.<br />
<byline></byline><em>ARIF SUSANTO Aktif di Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian Universitas Al-Azhar Indonesia</em><br />
<br />
<em>Opini Kompas 17 April 2010 </em>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-20473519707472440572010-04-16T18:31:00.001-07:002010-04-16T18:31:08.643-07:00Minoritas Antikorupsi<span id="article_body">Tak satu pun kata yang adekuat memotret kondisi keparahan tingkat korupsi di Indonesia. Bahwa kerusakan sudah sedemikian mencemaskan, hal itu terefleksi dari penjabaran kasus Gayus HP Tambunan.<br />
Selain berpotensi menggeret mafia kasus kelas kakap, Gayus tak hanya jadi jendela, melainkan pintu yang terbuka makin lebar untuk melihat gurita korupsi di Indonesia.<br />
Korupsi memang selalu berkelindan. Kredit khusus laik diberikan kepada setiap peniup peluit (the whistle blower) macam Susno Duadji ataupun Khairiansyah, Endin, dan Probosutedjo, beberapa tahun lalu. Walau mereka juga tidak bersih-bersih amat, secara diametral niat politis (political will) itu bisa bergayung sambut dengan kebijakan dasar (direct political will). Pokok persoalan terletak pada realitas masif: semua ber-handicap korupsi.<br />
<br />
<a name='more'></a> </span><br />
Korupsi menjadi karakter bangsa ini par excellence karena struktur DNA-nya memang demikian, seperti pernah penulis uraikan (Kompas, 18/5/2005). Sintaksis keluarga menjadi napas sekaligus rasionalitas korupsi.<br />
Maka, memberantas korupsi sebetulnya merevolusi, bukan sekadar tambal sulam sana-sini. Berita buruknya adalah bahwa korupsi tidak akan pernah terkikis dari bangsa Indonesia. Berita baiknya, ada beberapa tukang sapu yang dengan penuh risiko memberikan diri sebagai korban di altar penyembelihan.<br />
Pemerintah tinggal menindaklanjuti darah-darah para peniup peluit dengan menindak tegas para koruptor. Namun, butuh daya tahan ekstra untuk menggulirkan revolusi terhadap korupsi. Kelambanan penanganan korupsi terkait dengan keraguan pemerintah (undecisiveness) mengambil keputusan.<br />
Keraguan-raguan juga bersifat sistemik, bukan sekadar moral praktis. Ini karena pemerintah pun punya andil dalam menyuburkan korupsi, apa pun bentuk ataupun besaran cakupannya.<br />
<crosshead></crosshead><strong>Dalil mayoritas</strong><br />
Sebentuk banalitas ditopang oleh mayoritas. Aristoteles menyebutnya sebagai mob rule. Apa yang dilakukan semakin banyak orang, itulah yang menjadi standar sekaligus aturan. Seburuk apa pun perilaku itu, jika semua orang melakukan, berarti dapat diterima sebagai kebenaran dalam ukuran komunitas.<br />
Korupsi an sich adalah produk mob rule. Sebagai banalisme, korupsi pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah sistem. Semula, pada dirinya sendiri korupsi adalah buruk secara moral. Namun, karena korupsi dilakukan massal dan periodik, lama-lama cakupan moralitas korupsi berubah menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan.<br />
Korupsi tidak hanya menjadi budaya, tetapi juga menyangkut soal ekonomi, sosial, ataupun politik. Dengan berbagai modus, korupsi tidak lagi menimbulkan rasa protes (indignation). Ketiadaan protes moral tersebut menandai inisiasi korupsi sebagai bagian integral dari sistem. Pendekatan hukum hanyalah kamuflase, sejauh pertanyaan pertama tentang suatu aturan adalah ”berapa duit yang dibutuhkan”?<br />
Oleh karena itu, rasanya naif untuk mengklaim suatu lembaga yang bebas korupsi. Apa pun bentuknya, korupsi ada di mana-mana dan bisa mengenai siapa saja selama masih di Indonesia.<br />
Adalah mimpi mengharapkan Indonesia saat ini bebas tuntas dari korupsi. Setiap akses sosial politik (sedikit budaya) bernilai komersial dan identik dengan korupsi.<br />
Romantisme pembentukan bangsa Indonesia tanpa korupsi hanyalah text-book. Si tukang sapu pasti mendapati sapunya penuh kotoran. Tak ada satu pun orang suci dalam pemberantasan korupsi. Utopisnya, korupsi hanya terbasmi dengan format ulang generasi.<br />
Pemberantasan korupsi juga menghindarkan karakter bangsa ini dari bentukan mob rule. Pastilah para pemrakarsa (the founding fathers) tidak berjalan tanpa konsep ketika hendak membangun bangsa ini. Seketat mungkin bangsa Indonesia dilepaskan dari terjun bebas ala juggernout hanya karena mayoritas korupsi.<br />
Para peniup peluit ibarat sekelompok minoritas dari samudra koruptif. Mereka berdiri sejajar dengan masyarakat pencinta bangsa Indonesia. Ambil contoh, sebuah SMP swasta di Semarang memberi kesempatan kepada para pelajar untuk plug-and-play dalam melunasi tanggung jawab mereka terhadap aktivitas transaksi di kantin. Mereka termasuk yang mengharap pembentukan karakter baru seperti diungkap oleh Teten Masduki (Kompas, 7/04).<br />
<crosshead></crosshead><strong>Habitus baru</strong><br />
Di samping hegemoni mayoritas, kelompok minoritas selalu memiliki daya ledak untuk membentuk nilai. Pada diri minoritaslah habitus baru tanpa korupsi bisa diandalkan. Mayoritas sebagai mob rule mampu mengubah yang deskriptif menjadi normatif, mampu memberi pencerahan terhadap stagnasi proses kreatif suatu kelompok besar.<br />
Satu saat, pastilah mayoritas mengalami kemuakan terhadap nilai korupsi. Namun, kemuakan itu tidak berlanjut pada pencerahan karena sudah terjebak teramat dalam.<br />
Korupsi telah menjelma menjadi titik (ny)aman alias comfort zone. Inilah saatnya kemuakan mencapai klimaksnya. Bahwa secara nurani setiap orang emoh terhadap korupsi, stipulat ini tidak dapat ditolak. Rumitnya, mayoritas membutuhkan minoritas untuk memecah kebuntuan sistemik tersebut.<br />
Minoritas itulah yang muncul dalam diri para peniup peluit ataupun lembaga pemberantas korupsi ataupun sekelompok masyarakat yang masih mengandalkan kewarasan dalam membangun masa depan Indonesia.<br />
Sekali lagi, pemerintah perlu merespons secara baik dan benar gerakan-gerakan kaum minoritas antikorupsi tersebut. Naga-naganya kasus Bank Century secara berangsur-angsur senyap karena rentetan (peng)kasus(an) terorisme ataupun mafia perpajakan. Tampaknya para politisi kelas wahid bangsa ini selalu saja punya inventaris kasus untuk dilempar ke publik, semata-mata demi kepentingan yang terbatas.<br />
Secara obyektif, pemerintah adalah sekelompok minoritas yang membawa mayoritas (yaitu bangsa Indonesia) pada masa depan yang lebih baik. Sekurangnya tidak menjadi patron yang membawa mayoritas pada kehancuran. Atau, pembenahan bangsa ini tetap saja berkutat pada pola gali lubang tutup lubang.<br />
<em>Tulus Sudarto Rohaniwan, Tinggal di Paroki Baciro, Yogyakarta</em><textmetadata></textmetadata><textlinkedpage number="7"></textlinkedpage><br />
<!-- end isi berita --> <!-- komentar --> <br />
<div class="mt_20"> <div class="brd_b_1"> <!--s:rating and share --> <form action="document.rateform,'http://cetak.kompas.com/read/rate" id="rateform" method="post" name="rateform"> </form></div>Opini Kompas 17 April 2010</div>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-67550664601649902632010-04-16T18:29:00.000-07:002010-04-16T18:29:26.570-07:00Simulasi Kebohongan Televisi<span id="article_body">Salah satu masalah penting yang dihadapi masyarakat saat ini adalah mencari informasi yang mana yang benar-benar layak dipercaya. Informasi berseliweran saling mempertahankan validitasnya.<br />
Belum kasus Bank Century terkuak, kita sudah menerima rentetan informasi beserta sayap-sayap konflik yang menyertainya. Publik bingung apakah Kapolri atau Susno Duadji yang bohong, Gayus Tambunan dan Sjahril Djohan makelar kasus pajak, dan masih banyak lagi.<br />
Kognisi publik kelelahan mencerna informasi yang dibombardir media massa. Ribuan tanda (sign) menerpa kognisi publik setiap hari tanpa kerangka empirik yang jelas. Tanda-tanda itu melayang-layang saja tanpa makna (signified) yang jelas.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Dalam hiruk-pikuk lalu lintas tanda itu, ternyata televisi tidak sekadar berperan sebagai penyaji. Andris Ronaldi mengaku diminta TVOne menjadi narasumber palsu. Dia yang sebelumnya diminta sebagai narasumber terkait PJTKI dalam sebuah talk show tiba-tiba harus menjadi makelar kasus. Bicaranya pun dipandu melalui teks yang sudah disiapkan redaksi televisi (detiknews.com, Jumat, 9 April 2010). Televisi tidak lagi menampilkan opini Andris Ronaldi apa adanya, tetapi televisilah yang merekayasa dan menentukan Andris harus berperan sebagai makelar kasus. Reporter televisi sudah berubah menjadi sutradara realitas itu sendiri. Gila bukan?<br />
<crosshead></crosshead><strong>Realitas dasar</strong><br />
Dalam pemahaman awam, tanda dianggap selalu berhubungan dengan realitas dasar. Kata-kata, gambar, dan suara yang diciptakan manusia merupakan cerminan realitas material. Berita televisi merupakan representasi kejadian sehari-hari dalam masyarakat. Kualitas kebermaknaan berita ditentukan oleh sejauh mana mampu merepresentasikan realitas dasar sehari-hari. Etika teknik jurnalistik menjadi pemandu kualitas itu.<br />
Namun, rupanya pola itu sudah bergeser. Hasrat monolitik modernisme telah menyulap logika itu. Tanda-tanda direkayasa demi menampilkan makna yang diinginkan pembuatnya. Kode-kode iklan tidak lagi sekadar menceritakan produknya, tetapi merayu kognisi publik untuk mengonsumsi. Animasi-animasi telah membuai khayalan publik dengan menciptakan tanda yang tidak harus memiliki keterhubungan dengan realitas dasar. Tanda telah dicerabut dari realitas dasar.<br />
Proses rekayasa tanda itu disebut simulasi. Simulasi itu bukan pura-pura sakit, tetapi menciptakan gejala sakit itu sendiri. Kerangka pikir simulasi adalah melilhat hubungan antara tanda dan realitas dasar.<br />
Ada empat tahap simulasi. Pertama, tanda merupakan cerminan realitas dasar. Kedua, tanda merupakan topeng realitas dasar. Ketiga, tanda merupakan topeng ketiadaan realitas dasar. Keempat, tanda tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas dasar. Tahap keempat ini disebut simulakra (simulacra) di mana tanda hanya mereproduksi tanda berikutnya tanpa perlu berhubungan dengan realitas dasar. Makna diciptakan dari proses tanda yang mereproduksi tanda yang lain. Disneyland merupakan contoh sempurna simulakra (Baudrillard, 1988). Batas antara kejujuran dan kebohongan bukannya tipis, tetapi tidak ada. Semuanya hanya bermain-main dalam simulasi tanda demi mengabdi kepentingan hasrat. Opini publik menjadi wilayah sangat lentur dalam dunia pemaknaan yang tanpa batas.<br />
Pertarungan wacana yang sedang kita saksikan akhir-akhir ini berada dalam simulasi tahap kedua dan ketiga. Redaksi TV One diduga meminta Andris Ronaldi untuk menciptakan tanda yang tidak berhubungan dengan realitas dasarnya. Tanda itu menutupi realitas dasar bahwa dia bukan seorang makelar kasus. TV itu tidak mampu menghadirkan makelar kasus asli sehingga mereka membuat simulasi lewat produksi tanda berupa Andris Ronaldi.<br />
Kasus Andris membuktikan bahwa ternyata televisi pun bisa terlibat dalam simulasi kebohongan. Televisi sebagai penyampai berita tidak peduli lagi pada kaidah representasi realitas dasar, tetapi merasa cukup hanya dengan bermain pada wilayah rekayasa tanda. Jika itu dilakukan pada program berita atau talk show, pada bahu siapakah opini publik kemudian disandarkan?<br />
Di balik proses simulasi bersemayam keinginan memenuhi kehendak hasrat. Institusi-institusi dalam modernitas termasuk televisi pada dasarnya bekerja sebagai mesin hasrat (desiring machine, Felix Guattari & Gilles Deleuze, 1972) untuk memenuhi hasrat tertentu.<br />
Hasrat terbesar televisi Indonesia saat ini adalah perolehan keuntungan sebesar-besarnya. Simulasi tanda dalam acara televisi merupakan keluaran struktur liberalisasi penyiaran yang menciptakan televisi yang serakah, tidak mau dikontrol, dan tak mau tahu kepentingan publik.<br />
Sekarang publik benar-benar hidup dalam habitat kebingungan yang sempurna. Publik tidak hanya bingung mencari siapakah anggota DPR, jaksa, polisi, yang jujur atau bohong lewat tayangan televisi. Publik juga harus siap untuk bingung mencari manakah televisi yang jujur atau bohong.<br />
<byline></byline><em><strong>R Kristiawan</strong> Manajer Program Media dan Informasi, Yayasan Tifa, Jakarta</em><br />
<textmetadata></textmetadata><textlinkedpage number="6"></textlinkedpage><br />
</span> <!-- end isi berita --> <!-- komentar --> <div class="mt_20"> <div class="brd_b_1"> <!--s:rating and share --> <form action="document.rateform,'http://cetak.kompas.com/read/rate" id="rateform" method="post" name="rateform"> </form></div>Opini Kompas 17 April 2010</div>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-25311438879387595252010-04-16T18:28:00.000-07:002010-04-16T18:28:24.606-07:00Sengkarut Jaminan Sosial<span id="article_body">Perkara jaminan sosial nasional merupakan sesuatu yang sangat mendesak. Pembahasan RUU jaminan kesehatan di Amerika sampai memaksa Obama mengurungkan niatnya datang ke Indonesia.<br />
Betapa tidak. Obama harus bekerja keras untuk melobi setidaknya seratus anggota parlemen. Sejumlah upaya dilakukannya untuk memperoleh dukungan: lobi via telepon, rapat dengan anggota Kongres, atau pidato di stasiun televisi nasional. Hasilnya, 212 senator menolak, sedangkan 219 lainnya meloloskan RUU kesehatan tersebut. Obama pun berpidato, ”Ini adalah kemenangan untuk rakyat Amerika, kemenangan untuk akal sehat.”<br />
Kegigihan yang ditunjukkan Obama semestinya menjadi sentilan bagi kita semua. Seperti yang terjadi di Amerika, meloloskan RUU jaminan sosial nasional bukan perkara mudah. Namun, semangat memperbaiki kehidupan dan keberpihakan yang jelas kepada kepentingan masyarakat membuat berbagai kendala bisa diatasi. Semangat yang sama seharusnya juga dimiliki segenap pemangku kepentingan di republik ini, baik itu legislatif, eksekutif, maupun masyarakat sipil.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<crosshead></crosshead><strong>Kebijakan akal sehat</strong><br />
Obama ada benarnya. Keputusan membangun sebuah sistem jaminan sosial bukan sekadar perkara kepentingan rakyat, melainkan juga akal sehat. Adalah tidak masuk akal membiarkan sebagian besar warga negara menghadapi risiko akibat status sosial-ekonomi yang disandangnya. Pada 19 oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU yang mengamanatkan tak hanya jaminan kesehatan, tetapi juga jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Kelima jaminan ini berlaku untuk seluruh rakyat di republik ini dan bukan hanya mereka yang tercatat dalam data orang miskin di BPS.<br />
Jaminan sosial tidak hanya berlaku bagi populasi tertentu, tetapi juga bagi siapa saja yang berwarga negara Indonesia. Setiap penduduk yang sakit mendapatkan layanan kesehatan kapan pun dan di mana pun dia berada. Setiap lansia akan menerima uang pensiun setiap bulan sampai ia meninggal. Setiap anak yang orangtuanya meninggal akan mendapat bantuan keuangan sampai si anak bisa mandiri secara ekonomi.<br />
Sayangnya, dari sepuluh PP dan sembilan perpres yang diperintahkan UU SJSN untuk ditindaklanjuti, hanya satu perpres yang sudah dibuat oleh pemerintahan SBY. Perpres tersebut tentang Tata Kerja dan Organisasi Dewan Jaminan Sosial (DJSN). Sementara badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) yang merupakan salah satu syarat mutlak SJSN bisa dijalankan tak pernah dibentuk. Empat lembaga yang diperintahkan menjadi penyelenggara SJSN adalah Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri.<br />
Secara tegas UU menyatakan ”Semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS... disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan” (Pasal 52 Ayat 2). Artinya, seharusnya keempat lembaga yang diperintahkan UU sudah jadi BPJS pada 19 Oktober 2009. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Hingga saat ini kita belum memiliki BPJS seperti yang diperintahkan UU SJSN. Padahal, UU SJSN tanpa BPJS ibarat macan ompong.<br />
Perlu sebuah UU untuk membentuk BPJS. DPR periode sekarang menyepakati untuk menjadikan RUU BPJS sebagai salah satu prioritas Program Legislasi Nasional 2010 dan telah disetujui dalam rapat paripurna DPR. Berarti hal yang sama telah pula disepakati oleh pemerintah sebagai prioritas yang harus selesai tahun ini. Namun, belum lagi diputuskan apakah RUU dibahas di Komisi IX atau di pansus gabungan komisi, ”aroma penolakan” sudah menyebar ke mana-mana.<br />
Perdebatan dapat dirangkum jadi dua pokok perkara. Pertama, apakah BPJS harus berupa badan hukum tersendiri seperti amanat UU SJSN. Kedua, apakah BPJS tetap di bawah BUMN atau berbentuk ”BUMN khusus”. Keduanya membuat pembahasan jadi sengit dan berlarut-larut. Padahal, perdebatan sama juga terjadi pada saat pembahasan RUU SJSN hingga kemudian disepakati BPJS harus berupa badan hukum yang tidak berorientasi laba (Pasal 1 UU SJSN). Jadi, seharusnya perdebatan serupa tak perlu terulang dan BPJS tinggal dilaksanakan.<br />
<crosshead></crosshead><strong>Nirlaba</strong><br />
Di negara mana pun, sebuah sistem jaminan sosial tidak dianggap sebagai urusan usaha bisnis. Dibentuknya sebuah sistem jaminan sosial justru menjadi jawaban atas kegagalan usaha bisnis mewujudkan keadilan sosial sekaligus kepastian perlindungan yang berkelanjutan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Untuk menjalankan sebuah sistem jaminan sosial yang diperlukan adalah suatu badan tripartit yang independen terhadap birokrasi pemerintahan (berarti penyelenggara juga tidak bisa kementerian) yang disebut wali amanat, board of trustee (DJSN dalam UU SJSN). Badan ini terdiri atas wakil-wakil peserta, yaitu pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan unsur lain yang dianggap memiliki kemampuan menjalankan fungsi wali amanat. Badan lain yang dibutuhkan adalah sebuah badan hukum, yang disebut badan penyelenggara publik yang bukan BUMN (BPJS dalam UU SJSN).<br />
Selama ini keempat badan penyelenggara yang diperintahkan oleh UU SJSN ada di bawah BUMN. Orientasinya adalah laba karena hakikat BUMN sendiri memang lembaga pencari laba untuk kas negara. Meskipun keempat badan tersebut kini tak lagi dimintai dividen, ”orientasi laba” belum juga sirna. Sebagai bukti, uang peserta masih diinvestasikan di bursa-bursa saham. Bahkan, salah satu lembaga jaminan sosial disinyalir menyimpan sebagian dana di bank bermasalah. Apakah peserta jaminan sosial tahu? Jika lembaga bersangkutan mengalami kerugian siapa yang akan menanggung? Seharusnya peserta memperoleh pengetahuan mengenai kinerja lembaga jaminan sosial. Sebab, uang yang dikelola adalah uang peserta, uang dari potongan upah para pekerja setiap bulan, bukan uang pemerintah.<br />
Jika republik ini ingin memiliki sebuah sistem jaminan sosial nasional, tentu badan penyelenggaranya mutlak tidak boleh berorientasi pada laba. Sebab, dana yang dikelola adalah dana amanat milik semua peserta, yaitu seluruh rakyat. Peruntukannya harus sebesar-besarnya demi pelayanan publik. Jika ada dana yang diinvestasikan, itu pun harus sepengetahuan dan berdasar kesepakatan seluruh peserta. Jika ada sisa hasil usaha, itu pun menjadi milik semua peserta. Keuntungan tidak boleh dibagikan kepada sekelompok orang atau pemerintah, seperti yang terjadi pada BUMN. Dana sisa hasil usaha bisa digunakan untuk pengurangan iuran tahun berikutnya, sebagai dana cadangan umum bagi seluruh peserta atau untuk perbaikan pelayanan publik. Sifat nirlaba niscaya harus melekat pada penyelenggara jaminan sosial nasional dan itu hanya mungkin apabila BPJS direalisasikan.<br />
<byline></byline><em>Rieke Diah Pitaloka Anggota Komisi IX DPR</em><br />
<br />
<em>Opini Kompas 17 April 2010 </em></span>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-85338268836929988042010-04-16T18:26:00.001-07:002010-04-16T18:26:45.017-07:00Membumikan Program Gratis KBSetiap klinik KB/ puskesmas menyediakan alat kontrasepsi gratis. Termasuk memberikan layanan gratis untuk yang ingin ber-KB secara permanen lewat medis operatif<br />
<br />
KELUARGA berencana (KB) sebagai bagian dari program pembangunan nasional, mempunyai nilai strategis dalam menekan laju pertumbuhan penduduk (LPP). Pada dekade 1980-an, angka laju pertumbuhan secara nasional 2,3% dan angka itu sekarang bisa ditekan menjadi 1,48%. <br />
<br />
Sekalipun ada penurunan laju pertumbuhan, populasi per tahun di Indonesia masih mengundang pemikiran karena angkanya masih 4,2 juta kelahiran, dengan tingkat kelahiran (total fertility rate/TFR) 2,6. Angka itu setara dengan jumlah penduduk Singapura. <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Bagaimana di Jawa Tengah? Tahun ini diprediksikan jumlah penduduk mencapai 34,6 juta jiwa, dengan merujuk angka kelahiran tahun 2003 sebesar 2,10. Setiap pasangan diasumsikan punya anak rata-rata 2 orang atau lebih, dengan angka kelahiran tahun 2005 naik menjadi 2,18, dan periode 2007-2009 naik lagi menjadi 2,3. Kondisi kependudukan itu memerlukan perhatian kita semua, dan semua elemen masyarakat dituntut kontribusinya untuk berperan.<br />
<br />
Undang-Undang (UU) Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas diperlukan beberapa upaya strategis. Misalnya lewat upaya pengendalian/ pengaturan kelahiran, penurunan angka kematian, mobilitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengaturan perkawinan, kehamilan, serta peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.<br />
<br />
Implementasi dari substansi pengendalian kelahiran akan lebih fokus lagi, dengan memprioritaskan perhatian pada pasangan muda (pasangan usia subur muda paritas rendah atau disebut pusmupar) untuk ber-KB yang cocok dan sesuai dengan keinginannya. Intensifikasi penggarapan kelompok masyarakat itu akan memberikan dampak signifikan terhadap penurunan tingkat kelahiran. <br />
<br />
Sejalan dengan otonomi daerah saat ini, BKKBN konsisten mengembangkan cafetaria system dalam penyediaan alat kontrasepsi. Setiap klinik KB/ puskesmas menyediakan alat kontrasepsi gratis, seperti model suntik, susuk KB, kondom atau IUD. Termasuk memberikan layanan gratis untuk akseptor yang ingin ber-KB secara permanen lewat medis operatif/ MO dengan beberapa persyaratan khusus.<br />
<br />
Program kontrasepsi gratis diperuntukan bagi masyarakat atau pasangan yang masuk dalam kategori keluarga prasejahtera (KPS) dan keluarga sejahtera (KS) 1. Penentuan stratifikasi keluarga tersebut didasarkan pada hasil pendataan keluarga yang dilakukan setiap tahun oleh BKKBN.<br />
Kartu Jamkesmas Bagi keluarga miskin, termasuk mereka yang dikategorikan keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera 1, asalkan mempunyai kartu Jamkesmas, berhak memperoleh pelayanan KB gratis melalui fasilitas pelayanan rawat jalan tingkat primer seperti di puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling, dan pos kesehatan desa.<br />
<br />
Kelompok masyarakat itu juga dapat memperoleh fasilitas layanan rawat inap tingkat primer, pelayanan spesialistik serta pelayanan rujukan selama pusat-pusat pelayanan tersebut memberikan pelayanan Jamkesmas.<br />
<br />
Aspek pembiayaan program Jamkesmas di puskesmas didahului dengan penyusunan plan of action (POA) baik bulanan maupun triwulanan melalui forum mini lokakarya. Perencanaan itu wajib disusun oleh puskesmas dan harus mendapatkan persetujuan Dinkes kabupaten/ kota untuk pencairan dana Jamkesmasnya. Dalam forum itu, petugas lapangan KB (PLKB) memberikan input tentang peta/ kondisi jumlah akseptor baru ataupun ulangan. Data tersebut juga digunakan untuk rencana penyediaan kebutuhan alat kontrasepsi (alakon) di wilayah kerja puskesmas.<br />
<br />
Alat kontrasepsi gratis yang disediakan itu diharapkan dimanfaatkan secara maksimal oleh pasangan usia subur (PUS), terutama dari kelompok KPS dan KS 1, guna mengatur kelahirannya secara lebih baik lagi. <br />
<br />
Sebagian besar alat kontrasepsi bersifat hormonal, kecuali kondom. Akseptor KB hormonal dianjurkan selalu melakukan kontrol berkala ke pusat pelayanan KB terdekat untuk meminimalisasi efek samping ataupun menekan angka kegagalan terkait dengan penggunaan alat kontrasepsi itu.<br />
<br />
Agar lebih mudah dikenali masyarakat alat kontrasepsi itupun diberi tanda khusus berupa tulisan ‘’cuma-cuma’’, ‘’tidak diperjualbelikan’’, ‘’untuk keluarga miskin’’ dan berlogo BKKBN. Pelabelan seperti itu pada setiap kemasan diharapkan bisa memberikan justifikasi kepada masyarakat bahwa seandainya mereka merasa mampu secara finansial tidak memanfaatkannya sehingga program ini tepat sasaran.<br />
<br />
Kualitas alat kontrasepsi sejak awal program KB dilaksanakan selalu ditingkatkan serta disesuaikan dengan keinginan dan kenyamanan masyarakat penggunanya. Contohnya dulu susuk KB terdiri atas 5 batang sekarang hanya 2. Kondom pun demikian mengingat sekarang lebih tipis dan beraroma. (10)<br />
<br />
— Dra Sri Murtiningsih MS, Kepala BKKBN Provinsi Jawa Tengah <br />
<br />
<br />
Wacana Suara Merdeka 17 April 2010Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-88627249934078507982010-04-16T18:25:00.000-07:002010-04-16T18:25:51.297-07:00Remunerasi untuk Apa?KASUS Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak golongan III a dengan take home pay Rp 12 juta lebih, yang terlibat dalam mafia pajak menjadi tamparan keras bagi pelaksanaan kebijakan remunerasi. Seperti diketahui, telah diterbitkan Keputusan Menkeu Nomor 289/KMK.01/2007 berkaitan dengan reformasi birokrasi, yang salah satunya mengatur tentang remunerasi PNS di Depkeu. <br />
<br />
Kebijakan remunerasi tersebut didesain khusus untuk menghilangkan perilaku korup pada PNS, namun kini masyarakat mempertanyakan manfaat remunerasi bagi PNS, jika perilakunya masih saja koruptif. Kasus Gayus memperlihatkan secara vulgar seorang PNS yang sudah diberikan remunerasi besar, masih saya korupsi dan merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar. <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Kebobrokan perilaku oknum seperti Gayus itu perlu dijadikan kesempatan meninjau kembali remunerasi yang selama ini dinilai diskriminatif. Dari puluhan kementerian, nominal gaji pegawai Depkeu jauh di atas rata-rata PNS secara keseluruhan.<br />
<br />
Menurut Mandy Jennings dan Amanda Noe (2003), remunerasi memiliki tujuan untuk menarik, memotivasi, dan mempertahankan pegawai yang kompeten, serta membantu organisasi mencapai tujuannya dengan meningkatkan kesetaraan internal dan eksternal.<br />
Diskriminatif Untuk diketahuipada tahun 1980-an di Amerika Serikat menempatkan penekanan pada imbalan pribadi atas dasar bahwa individu yang sangat termotivasi bisa mengubah organisasi dan masyarakat. <br />
<br />
Sekadar catatan, pemerintah kita telah mengalokasikan Rp.13,9 triliun untuk tambahan remenurasi reformasi birokrasi di beberapa kementerian dan lembaga. Rinciannya Rp10,6 triliun pada APBN 2010 dan ditambahkan Rp 3,3 triliun pada APBN Perubahan.<br />
<br />
Hakikatnya, tambahan remunerasi tidak memiliki landasan hukum kuat karena bersifat parsial antara kementerian atau lembaga dan hanya menjadi bentuk legalisasi menguras uang negara. <br />
<br />
Atas dasar tersebut, perlu untuk membentuk regulasi yang mengatur penghasilan pejabat dalam konteks pemberian remunerasi demi reformasi birokrasi. Peraturan tersebut diadakan demi memberi patokan dalam menaikkan tunjangan, supaya pemerintah tidak seenaknya dalam memberikan remunerasi.<br />
<br />
Daripada memprioritaskan pada program remunerasi, akan lebih produktif jika memperbaiki pola rekrutmen pegawai dengan memperhatikan SDM unggul tetapi memprioritaskan aspek akhlak dan budi pekerti. Kunci sukses reformasi birokrasi bukan semata-mata terletak pada perbaikan sistem remunerasi, melainkan juga sistem perekrutan pegawai dan sistem pemantauan kinerja. <br />
<br />
Buku Reformasi Birokrasi Amplop (2006) yang ditulis Dwiyanto Indiahono menguraikan lemahnya proses rekrutmen seleksi pegawai serta pengembangan SDM yang tidak terprogram, dengan banyaknya birokrasi publik yang diisi oleh tenaga yang tidak profesional dan hanya atas dasar rasa suka dan tidak suka. <br />
<br />
Di beberapa negara, kenaikan gaji pegawai baru dilakukan setelah kinerja birokrasi terbukti membaik. Sementara di Indonesia, gaji pegawai didongkrak begitu saja dengan sekadar mengasumsikan bahwa tindakan itu akan berdampak memperbaiki sikap mental dan perilaku pegawai ataupun kinerja birokrasi secara keseluruhan. Karena itu, di banyak negara kenaikan gaji baru diberikan setelah kinerja pegawai/birokrasi benar-benar memenuhi standar yang telah ditentukan. <br />
<br />
Di negara kita, sistem remunerasi PNS ini masih diskriminatif dan penerapan di Depkeu berpijak pada pola kasta. Dalam hal ini, pegawai/pejabat Depkeu memperoleh kenaikan gaji/tunjangan paling tinggi dibanding di institusi lain pemerintahan. Perbaikan remunerasi pegawai Depkeu mencapai 70%, sementara di lingkungan kementerian lain hanya mencapai separo.<br />
<br />
Jadi, pegawai/pejabat Depkeu menempati kasta paling tinggi dalam konteks perbaikan remunerasi . Kenyataan demikian jelas ini tidak adil, sebab apa bedanya seorang guru, bidan atau dokter puskesmas dengan pegawai Ditjen Pajak atau Ditjen Bea Cukai?<br />
<br />
Program reformasi birokrasi dengan peningkatan gaji secara drastis melalui tunjangan remunerasi, ternyata tidak menjamin etos kerja PNS akan patuh dan tidak melakukan penyimpangan.<br />
<br />
Padahal etos kerja seorang PNS mengajarkan untuk tidak memandang pekerjaan sebagai sekadar jalan mencari penghasilan semata, namun sebagai jalan untuk menemukan eksistensi, harga diri, dan martabat sebagai seorang manusia. (10)<br />
<br />
— Suharto, PNS di Sragen, mahasiswa S2 magister hukum kebijakan publik UNS<br />
<br />
<br />
Wacana Suara Merdeka 17 April 2010Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-26877450789980990182010-04-16T18:21:00.000-07:002010-04-16T18:21:43.521-07:00Budaya Politik Pilkada SemarangKONSTELASI politik Kota Semarang dalam pilkada Minggu besok akan jadi magnet dan mengundang perhatian tersendiri. Tidak saja hasil pilkada yang akan menentukan arah Semarang lima tahun ke depan, namun budaya dan dinamika politik masyarakat kekinian. <br />
<br />
Masyarakat Kota Semarang adalah potret warga dengan kemudahan akses informasi politik yang didukung ketercukupan media massa. Berikut potret budaya politik masyarakat yang ditangkap dengan metode survei yang diselenggarakan Yayasan JalanMata (6-8 April 2010) dengan sampel 278 responden di 16 kecamatan, di 32 kelurahan, dan 64 RT. Dengan metode multistage random sampling, memiliki toleransi kesalahan 5% pada tingkat kepercayaan 90%.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Di tengah terpaan situasi ekonomi, sosial, dan budaya, masyarakat Kota Semarang nampaknya tidak memiliki ketertarikan cukup tinggi dalam politik, seperti yang digambarkan Gabriel A Almond dan G Bingham Powell (1976) dalam bukunya Comparative Politics: A Developmental Approach, bahwa budaya politik menyangkut sikap, keyakinan, nilai, dan orientasi individu terhadap politik di antara anggota sistem politik. Beragam ritual politik dalam format pemilu yang diselenggarakan setelah reformasi boleh jadi menjadi memori kolektif yang memengaruhi ketertarikan masyarakat. Hasil survei memperlihatkan derajat ketertarikan masyarakat terhadap politik, yaitu ketikdaktertarikannya dengan politik 67 persen, sangat tidak tertarik 9,1 persen, tertarik 22,1 persen, dan sangat tertarik 1,8 persen.<br />
<br />
Rendahnya ketertarikan masyarakat kota Semarang terhadap politik menjadi kian kuat ketika kehidupan politik lokal tidak banyak memberikan perubahan pada tingkat kesejahteraan. Persoalan ekonomi, seperti harga 9 bahan pokok, merupakan isu utama yang langsung memengaruhi kondisi kesejahteraan. Salah satu perubahan yang nampak nyata pada politik lokal hanya pada sirkulasi elite lokal, sementara perubahan dalam ranah kebijakan publik belum sepenuhnya dirasakan substansinya.<br />
<br />
Rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap politik berdampak pada intensitas masyarakat dalam memperbincangkan isu-isu politik dalam keseharian. Sebagian besar masyarakat tidak pernah memperbincangkan isu-isu politik, yaitu 43,5 persen menyatakan tidak pernah, kadang-kadang 46,7 persen, hanya 9,1 persen dan 0,7 persen yang sering dan sering sekali memperbincangkan.<br />
Isu-isu politik nampaknya menjadi komoditas perbincangan masyarakat kelas menengah dan elite politik, sementara perbincangan masyarakat lebih pada isu-isu ekonomi yang langsung berkaitan dengan hajat hidupnya. Isu politik bukanlah isu seksi yang dikonsumsi.<br />
<br />
Perbincangan politik dilakukan secara informal dalam obrolan ringan yaitu keluarga menjadi lingkungan paling besar. Perbincangan politik yang dilakukan di lingkungan keluarga 32,1 persen, teman dekat 30,1 persen, dan tetangga 23,9 persen. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa keluarga merupakan ruang sosialisasi politik yang cukup berpengaruh. Pada keluargalah keputusan-keputusan politik masyarakat banyak ditentukan. Siapa yang akan dipilih dalam pilkada nanti misalnya, keseragaman pilihan antara bapak, ibu, dan anak kemungkinan terjadi.<br />
Cukup Baik Meskipun dalam derajat ketertarikan terhadap politik dan intensitas memperbincangkan isu politik rendah, dalam mengikuti perkembangan politik nampak cukup baik. Ada 47,8 persen menyatakan sering mengikuti perkembangan politik dengan televisi sebagai media yang paling banyak (88 persen) digunakan untuk mengikuti perkembangan. <br />
<br />
Dalam dimensi penyelenggaraan pilkada pengetahuan terhadap pelaksanaan pilkada memperlihatkan adanya keberhasilan sosialisasi yang dilaksanakan oleh KPUD, yaitu mayoritas masyarakat mengetahui pelaksanaan pilkada. Dari pengetahuan itulah harapan akan pilkada dengan tingkat partisipasi cukup tinggi bisa didambakan.<br />
<br />
Bagaimanapun juga ketidaktahuan masyarakat terhadap kompetisi-kompetisi politik selama ini merupakan salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi. Di samping tentunya persepsi terhadap calon-calon yang berkompetisi, ikatan emosional, ideologis, dan kegagalan partai politik dalam meyakinkah pemilih. (10)<br />
<br />
<br />
Wacana Suara Merdeka 17 April 2010Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-33292764799274430532010-04-16T18:20:00.000-07:002010-04-16T18:20:09.778-07:00Telaah Lintas Sektoral RawapeningPendangkalan di Rawapening justru menjadi berkah bagi penambang kompos. Berapa ribu meter kubik bahan baku pupuk tersedia untuk mendukung pertanian organik? <br />
<br />
KUNJUNGAN kerja Komisi IV DPR asal Jawa Tengah di Ungaran Kabupaten Semarang yang dikemas dalam bentuk silaturahmi, menyoroti berbagai permasalahan dalam pembangunan. Komisi yang membidangi pertanian tersebut antara lain mengkritik program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) atas beberapa titik rawan alokasi anggaran (SM, 23/03/10).<br />
<br />
Yang menarik perhatian saya, salah seorang anggota Komisi itu nyeletuk menyoal pendayagunaan Rawa Pening. Analisisnya mantap. Sayang sekali, sarannya agar supaya pelaksana pembangunan melakukan studi banding ke Hungaria, negara kecil dengan perairan terbatas tampil sebagai sentra produksi ikan air tawar kelas Eropa.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Nggak salah. Mari bandingkan lagi dengan Mesir, negara padang pasir tidak punya sumber air. Satu-satunya sumber daya berasal dari Sungai Nil, itupun mata airnya ada di Danau Tanganyika, bagian tengah Afrika di luar kekuasaan negaranya. Hampir setiap cidhuk air tidak terlepas dari tata kelola yang efektif. Singkat kata, pertaniannya maju berkat sungai itu.<br />
<br />
Negara-negara yang mengalami over fishing mulai memutar haluan ke perikanan air tawar. Katakanlah, Korea Selatan dan lagi-lagi Vietnam sangat progresif dengan menggenjot produksi ikan patin. Dan, jangan sepelekan China. Kendala lain soal mengembangkan komoditas ekspor potensial perikanan yang diadang oleh peraturan perdagangan internasional.<br />
Tak Hanya Ikan Atlantic Bluefan Tuna terancam dimasukkan Appendix I sebagai spesies terdaftar ’’haram’’ diperdagangkan melalui Sidang Ke - 15 Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) di Doha, Qatar 12 - 25 Maret lalu yang dihadiri 175 negara termasuk Indonesia. (Sinar Tani, Maret 2410). Bukan hanya karena perkara itu. Bicara soal Rawa Pening tidak hanya ikan tetapi sebuah potensi yang ukurannya diibaratkan raksasa ekonomi yang sedang tidur. Bagaimana cara menggugahnya dari tidur yang panjang itu?<br />
<br />
Dalam hal pengembangan perikanan darat, Rawa Pening sudah jelas pemanfaatannya. Penebaran bibit ikan secara berkala telah dilakukan oleh Pemkab Semarang. Hasilnya, puluhan hingga ratusan jala apung dapat memanen ikan setiap harinya. Para pemancing juga memperoleh keleluasaan melampiaskan hobinya.<br />
<br />
Itu semua sudah nyata kontribusinya pada pendapatan rakyat. Pada lokasi tertentu sudah ada objek wisata alam dilengkapi dengan kulinernya. Air yang menggerojog telah digunakan untuk memutar turbin pembangkit listrik di Jelok. Selanjutnya Sungai Tuntang menghidupkan lahan-lahan pertanian di sepanjang alirannya hingga di muara sana.<br />
Jadi Polemik Eceng gondok masih menjadi polemik. Sebagian menyatakan itu gangguan dari segi pemandangan dan percepatan proses pendangkalan rawa atas pelapukan tanaman. Tetapi, toh pendangkalan juga sukar dihindari. <br />
<br />
Pendangkalan di rawa itu justru sungguh menjadi berkah bagi penambang kompos. Berapa ribu meter kubik bahan baku pupuk tersedia untuk mendukung pertanian organik? Daun yang masih segar juga bisa dipetik tangan petani setiap pagi. Yang sudah dikeringkan juga menjadi perabot dan barang seni di tangan perajin tas, sandal jepit, hingga meja kursi.<br />
<br />
Masih ada hal yang jauh lebih penting dari itu semua. Rawa tersebut ternyata menjadi objek sangat menarik bagi dunia pendidikan. Kita boleh bertanya, berapa banyak sarjana S1 telah ’’diluluskan’’? Juga boleh berbangga, untuk program pascasarjana, berapa master dan doktor menggondol ijazah dari tesis dan disertasinya ?<br />
<br />
Ilmu pengetahuan masih perlu melakukan banyak kajian terhadap fenomena Rawa Pening. Jangan sampai pihak asing lebih mengetahui daripada kita. Hal ini terkait simpulan studi yang menggambarkan betapa beragamnya stakeholder, sifat sumber daya yang multifungsi, managerial yang lintas sektoral dan territorial (Sutarwi, 2008).<br />
<br />
Faktanya, masyarakat sekitarnya masih terkategori miskin. Memberikan makna yang lebih berarti dalam forum silaturahim tersebut diusulkan sebuah telaah dalam bentuk kebijakan yang proporsional. Kelembagaan yang menangani harus badan koordinasi. Badan tersebut juga berfungsi di lintas sektoral, setidaknya pada sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan.<br />
<br />
Yang terpenting badan termaksud juga menjalankan tugas pokok pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas SDM pelaku utama dan pelaku usaha. Yang segera harus diwujudkan dalam pemberdayaan masyarakat adalah diciptakannya berbagai model pengembangan usaha agribisnis. Bercermin dari kasus penanganan PUAP, model usaha agribisnis dikembangkan melalui penguatan kelembagaan. (10)<br />
<br />
— Dokter Hewan Harjuli Hatmono MSi, Kabid Kelembagaan Sekretariat Bakorluh, Sekretaris Ex Officio Komisi Penyuluhan Provinsi Jawa Tengah<br />
<br />
Wacana Suara Merdeka 17 April 2010Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-52201637205282694742010-04-15T18:21:00.001-07:002010-04-15T18:21:50.325-07:00Dari Cina Benteng ke Mbah PriukSaat tulisan ini dibuat (pukul 07.00, 15 April 2010), kerusuhan di Tanjung Priok masih berlangsung. Sudah 24 jam sejak dimulai pada Rabu (14/4) selepas subuh. Korban di pihak Satpol PP bertambah terus. Dari satu kemarin pagi kemudian menjadi tiga siang harinya dan tadi, saya monitor di TV, katanya sudah bertambah dua lagi. Plus puluhan yang terluka. Plus tujuh (atau lebih) kendaraan petugas dibakar massa. Korban lebih banyak di pihak petugas.<br />
Semua itu demi memperebutkan sebuah makam keramat Mbah Priuk yang di mata masyarakat adalah makam Habib Hasan bin Muhamad al Hadad, seorang suci, penyiar Islam pertama di Betawi, yang sudah dimakamkan di sana sejak tahun 1756. Jadi, sudah sejak 244 tahun yang lalu. Namun, di mata pemerintah, kawasan kuburan itu hanyalah sebidang tanah yang masuk hak milik PT Pelindo dan berdasarkan undang-undang serta perda tertentu sah-sah saja untuk sewaktu-waktu digusur demi pembangunan. Maka, terjadilah tawuran yang tragis itu.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Namun, tak kalah tragisnya, sehari sebelumnya, di Tangerang, permukiman Cina Benteng juga digusur paksa oleh Satpol PP. Alasan pemerintah daerah (pemda) memang masuk akal. Permukiman mereka liar dan menghalangi program pelebaran Sungai Cisadane yang penting guna mengurangi banjir. Sebetulnya para penghuni juga memahami alasan pemda dan mengakui bahwa mereka menghuni secara liar karena itu mereka mau saja pindah asalkan diatur pindahnya ke mana atau diberi ganti rugi yang layak.<br />
Akan tetapi, wali kota bersikukuh bahwa berdasarkan perda nomor sekian-sekian dan instruksi gubernur nomor sekian-sekian permukiman harus digusur. Tidak ada ganti rugi karena tidak tersedia dana dalam APBD. Maka, demi hukum, Cina Benteng harus pergi; kalau perlu, dengan paksa.<br />
<crosshead></crosshead><br />
<strong>Museum hidup</strong><br />
Tentu saja dengan mudah komunitas Cina Benteng bisa diusir begitu saja oleh pemda dan tidak akan jatuh korban di pihak Satpol PP karena mereka minoritas baik dalam pengertian jumlah maupun dalam pengertian ras, agama, dan kepercayaan.<br />
Namun, dengan terusirnya mereka, akan punahlah satu cagar budaya yang sudah ada di tepi Sungai Cisadane sejak tahun 1700-an. Mereka adalah cikal bakal kota Tangerang yang membangun permukimannya di sepanjang Benteng VOC yang ketika itu berada di sepanjang Sungai Cisadane (karena itulah mereka dinamakan Cina Benteng). Karena imigran-imigran Tionghoa ketika itu semuanya laki-laki, maka mereka kawin dengan perempuan-perempuan lokal sehingga menghasilkan keturunan Tionghoa yang berkulit gelap, tidak berbahasa Tionghoa, tetapi masih sangat memuja kepercayaan tradisional mereka (hio, tepekong, capgomeh) walaupun busana dan seni musik mereka bukan Tionghoa, tetapi juga bukan pribumi. Karena mereka bernenek moyang buruh-buruh kasar, sampai hari ini pun profesi mereka tidak jauh-jauh dari buruh lepas, tukang ojek, atau tukang cuci.<br />
Dengan demikian, dari kacamata budaya, komunitas Cina Benteng ini adalah museum hidup, yang melestarikan dirinya sendiri tanpa dana serupiah pun dari pemerintah. Bahkan, sering kali mereka justru jadi korban penindasan penguasa, termasuk dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740. Maka, kalau dikehendaki, dengan sedikit investasi saja, dinas pariwisata daerah bisa memanfaatkan museum hidup Cina Benteng ini menjadi daerah tujuan wisata yang hasilnya pasti akan meningkatkan pendapatan asli daerah Tengerang. Inilah yang dalam ilmu resolusi konflik disebut win-win solution.<br />
<crosshead></crosshead><strong>Ketakpekaan sosial pemda</strong><br />
Namun, ada satu hal yang sangat memprihatinkan saya setelah menyimak kasus Cina Benteng dan Mbah Priuk serta kasus-kasus sebelumnya tentang bagaimana caranya pemda-pemda menggusur penghuni dan lapak liar. Hal itu adalah ketidakpekaan sosial para pejabat pemda (wali kota/bupati dan DPRD). Mereka pikir, karena Indonesia adalah negara hukum, kalau sudah ada hukumnya, semuanya bisa dibereskan dengan hukum itu.<br />
Pandangan seperti ini sangat keliru. Hukum tidak datang dari langit, melainkan bersumber dan bermuara pada masyarakat. Ketika hukum dipraktikkan di masyarakat dia akan langsung berhadapan dengan nilai-nilai, adat, kebiasaan, agama, kepercayaan, keyakinan, dan etika masyarakat setempat. Ini tidak bisa dipandang enteng dan harus dipertimbangkan baik-baik kalau kita ingin semuanya berlangsung dengan baik. Untuk melaksanakan gusur-menggusur dengan baik tanpa kekerasan, terlebih lagi tanpa korban, bukannya tidak mungkin. Kota Solo adalah salah satu yang telah mempraktikkannya.<br />
Sejak Jokowi-Rudy menjadi wali kota dan wakil, di Solo tidak pernah ada lagi kekerasan dalam rangka penggusuran, tetapi pembangunan jalan terus. Pedagang liar kaki lima dan pasar dipindahkan dengan kirab pasukan pengawal keraton lengkap dengan pusaka-pusakanya. Pak Wali dan Pak Wakil, dengan berpakaian adat, berkuda di barisan paling depan dan diliput oleh media massa nasional dan internasional. Di tempat baru pun sudah tersedia prasarana baru dengan fasilitas sangat baik, uang sewa sangat ringan, bebas pajak-pajak tertentu, dan trayek kendaraan umum sudah disalurkan ke lokasi baru itu.<br />
Win-win solution<text bd="0" co="K" f="601" fontfamily="Chronicle Text G1" fontname="ChronicleTextG1-Regular" gray="100" h="9036m" it="0" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text> lagi. Rahasianya sederhana saja, yaitu pertimbangkan faktor sosial budaya dulu, baru praktik hukumnya disesuaikan, bukan sebaliknya. Memang hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Namun, jangan lupa, pada manusia selalu ada bulu-bulu yang tidak boleh dipandang.<br />
<em><strong>Sarlito W Sarwono</strong> Guru Besar Psikologi, Ketua Program Studi Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia</em><br />
<br />
<em>Opini Kompas 16 April 2010 </em><br />
<br />
<span class="fullpost"> <br />
</span>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-10158433052948501792010-04-15T18:20:00.001-07:002010-04-15T18:20:52.318-07:00Titah yang Membawa Bencana<div align="left">Bentrokan yang terjadi antara warga dan aparat keamanan di Koja, Tanjung Priok, sepanjang hari Rabu (14/4) meninggalkan luka menganga bagi bangsa ini. Bukan hanya korban tewas dan luka berat yang membuat kita miris, melainkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengomunikasikan kebijakan penertiban di makam Mbah Priuk, patut dipertanyakan.</div><div align="left">Jika kita cermati, bentrokan tersebut bukan berakar dari aparat Satpol PP yang represif atau warga yang anarkis, tetapi ada jembatan komunikasi yang terputus antara pemerintah daerah dan warga. Di beberapa media, pihak pemerintah kota (pemkot) menyatakan bahwa upaya penertiban adalah untuk memperindah dan mempercantik wilayah makam. Namun, mengapa informasi yang sampai ke telinga warga adalah pembongkaran makam sehingga mengundang reaksi negatif dari warga (Kompas, 15/4/2010).</div><div align="left"></div><a name='more'></a><br />
<div align="left">Miskomunikasi ini memang bukan persoalan baru. Hampir di setiap penertiban yang dilakukan aparat selalu dibarengi komunikasi yang terputus antara pemerintah dan warga. Warga <line></line>yang seharusnya didekati dengan pendekatan sosiologis, lebih banyak ditekan dengan pendekatan-pendekatan represif. Budaya rembuk yang menjadi karakter penyelesaian persoalan masyarakat selama ini semakin ditinggalkan.</div><div align="left">Semestinya, pemkot melakukan upaya sosialisasi intensif sekaligus partisipatif untuk menggali respons warga. Bukan represif dengan mendatangkan ribuan aparat Satpol PP dan polisi. Selama ini, citra yang terbangun dari Satpol PP dan polisi dalam penertiban adalah penggusuran. Jadi sangat wajar jika warga langsung bereaksi dan melakukan perlawanan.</div><div align="left">Akan tetapi, coba jika yang datang pada waktu itu adalah para pengambil kebijakan dengan benar-benar memosisikan sebagai pelayan warga, berkunjung untuk berdialog dengan warga, mungkin sambutan warga pun akan lain. Bukan celurit dan pentungan yang disediakan sebagai suguhan, tetapi keluh kesah warga kepada pemerintah layaknya anak kepada orangtuanya ketika si anak mendapat kesusahan.</div><div align="left"><crosshead></crosshead><strong>Lebih militan</strong></div><div align="left">Dalam kasus Priok kemarin, simpati dan empati tampaknya belum menjadi pegangan pemkot dalam melaksanakan kebijakan. Pun kesadaran akan potensi perlawanan dari para pengagum Mbah Priuk kurang begitu dipahami sebagai potensi bom waktu yang setiap saat bisa meledak jika terus-menerus ditekan.</div><div align="left">Pengagum Mbah Priuk tentu lebih militan daripada Satpol PP. Keterkaitan emosi, trah atau turunan, ideologi, rasa hormat, dan bangga sebagai pembela Mbah Priuk menjadi energi perlawanan luar biasa. Artinya, rasa hormat yang begitu besar terhadap Mbah Priuk sebagai penyebar Islam akan membuat siapa pun yang terkait dengannya rela mati. Itulah karakter militansi kultus individu yang sepertinya belum begitu dipahami oleh pemkot.</div><div align="left">Hal ini tentu saja berbeda ketika Satpol PP menertibkan permukiman kumuh atau lapak-lapak pedagang kaki lima (PKL). Penertiban semacam itu hanya dilandasi motif ekonomi, tidak ada kekuatan ideologis dan emosi sebagai penyatu. Karena, di antara warga yang ditertibkan mungkin ada yang mempunyai kemampuan mencari permukiman atau berjualan di wilayah lain sehingga potensi mereka untuk tidak bersatu sangat dimungkinkan.</div><div align="left">Kasus Priok, sekali lagi bukan kesalahan Satpol PP atau warga. Satpol PP hanya pion dari sebuah ”titah” untuk menertibkan <line></line>makam Mbah Priuk. Layaknya pion, Satpol PP harus melaksanakan perintah apa pun dengan konsekuensi apa pun karena hal ini berkaitan dengan profesionalisme kerja mereka. Meskipun dari beberapa media, beberapa anggota Satpol PP setengah hati melakukan penertiban karena mereka pun adalah pengagum Mbah Priuk, misalnya, Ahmad Tajuddin, salah satu anggota Satpol PP yang tewas yang semasa hidupnya ternyata sering ziarah ke makam Mbah Priuk (detik.com, 15/4/2010). Sangat ironis.</div><div align="left">Bagaimanapun, kasus Priok memberi kita pelajaran. Sebuah ”titah” pemerintah harus dibarengi kesadaran akan potensi perlawanan yang dihadapi pelaksana ”titah”-nya. Diperlukan kesadaran untuk berempati dan simpati serta reflektif terhadap karakter sosial-budaya sasaran kebijakan. Jika tidak demikian, titah selamanya akan berakhir dengan darah.</div><div align="left"><br />
</div><div align="left"><byline></byline><byline></byline><em><strong>Sulyana Dadan</strong> Dosen Jurusan Sosiologi Fisip Unsoed Purwokerto</em></div><div align="left"><br />
</div><div align="left"><em>Opini Kompas 16 April 2010 </em></div>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-8511422829834315412010-04-15T18:19:00.000-07:002010-04-15T18:20:04.027-07:00Meretas Budaya Kekerasan<div align="center">Hati kita miris, sedih, pedih, dan prihatin menyaksikan tayangan berita bentrokan antara Satpol PP dan warga di Koja, Jakarta Utara. Bentrok sebelumnya terjadi pada hari Selasa, 13 April antara Satpol PP dan warga Cina Benteng di Tangerang. Sehari berikutnya, terjadi bentrok yang bahkan membawa korban tewas dan luka-luka!</div>Sekurang-kurangnya dua orang anggota Satpol PP meninggal dunia dalam bentrok ini. Lebih dari 134 orang luka-luka. Bahkan, beberapa di antaranya berada dalam kondisi kritis!<br />
Mengherankan, mengapa bentrok sehari sebelumnya yang melibatkan subyek yang sama (Satpol PP) tidak diselesaikan secara bijaksana, tetapi justru memuncak dengan kekerasan yang lebih besar pada hari berikutnya? Benarlah yang ditengarai tajuk harian ini (Kompas, 15/4). Mengapa pertikaian tidak diselesaikan secara baik-baik melalui musyawarah? Bukankah kekerasan tidak bisa menyelesaikan persoalan secara permanen dan memenuhi rasa keadilan para pihak yang bertikai? Bukankah penyelesaian secara kekerasan hanya akan menyimpan dan melahirkan kekerasan dan dendam?<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<crosshead></crosshead><b>Budaya kekerasan</b><br />
Dewasa ini, kekerasan demi kekerasan masih menguasai kehidupan masyarakat kita, bahkan kian merebak. Di negeri ini, kekerasan bahkan menjadi semacam infotainment yang hampir setiap hari disuguhkan dalam berita-berita di televisi dalam berbagai tajuk. Hampir sepanjang hari, di beberapa televisi swasta, tayangan berita kekerasan menghiasai warna hidup masyarakat kita.<br />
Kekerasan mewajah dalam bentuk tawuran antarpelajar, antarmahasiswa, dan antawarga kampung. Kekerasan juga menyusup di panggung politik sehingga Sidang Paripurna DPR, forum terhormat perwakilan rakyat pun tak luput dari aksi kekerasan. Bahkan, dunia persepakbolaan kita yang mestinya menampilkan komitmen sportivitas pun dinodai bentuk-bentuk kekerasan antarpendukung yang sedemikian brutal, membuat nurani kita menangis.<br />
Karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sekarang ini pun kita masih berada dalam budaya kekerasan yang mewajah dalam berbagai bentuk dan tali-temali menjadi lingkaran kekerasan. Kekerasan terekspresikan baik yang bersifat personal-pribadi dan sosial-kemasyarakatan. Lingkaran kekerasan merebak secara sistemik-struktural, secara politis, ekonomis, kultural, bahkan religius!<br />
Menurut Michael Crosby, OFMCap (1996:18-20), lingkaran kekerasan merupakan buah dari setiap paksaan yang mengakibatkan luka. Dua kata kunci dari Michael Crosby untuk kekerasan adalah paksaan dan luka. Keduanya bisa bersifat fisik ataupun psikis, personal ataupun komunal, psikologis ataupun sosiologis.<br />
Terry Miller dan Marrie Dennis mengonkretkan pandangan Michael Crosby dengan menyebutkan bentuk-bentuk kekerasan dewasa ini dalam beberapa hal.<br />
Pertama, kekerasan terhadap orang- orang miskin dan tersingkir, terhadap kaum perempuan dan anak-anak, bahkan kekerasan terhadap para lansia dan kaum difabel.<br />
Kedua, kekerasan terhadap negara-negara miskin dalam bentuk beban utang yang berat. Dalam negara-negara miskin dan berkembang, bahkan bayi-bayi yang baru lahir pun sudah harus menanggung beban utang negara.<br />
Ketiga, kekerasan melalui tata ekonomi yang berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya seraya mengabaikan keadilan bagi rakyat. Ekonomi yang demikian selalu dikendalikan pemilik modal besar dan orang-orang kaya.<br />
Keempat, masyarakat miskin justru menjadi korban akibat bentuk-bentuk konsumerisme dan hedonisme yang ditawarkan produksi yang mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.<br />
Kelima, kekerasan mewajah secara sistemik-struktural terhadap mereka yang disebut pengangguran akibat kurang meratanya kesempatan bekerja.<br />
Terakhir, kekerasan ekologis, melalui perusakan lingkungan yang mengakibatkan manusia berada dalam kesulitan berhadapan dengan alam semesta yang mestinya menjadi ruang nyaman untuk hidup.<br />
<br />
<crosshead></crosshead><b>Meretas kekerasan</b><br />
<text bd="0" co="K" f="601" fontfamily="Chronicle Text G1" fontname="ChronicleTextG1-Regular" gray="100" h="9036m" it="0" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text>Kekerasan merupakan noda demokrasi. Meminjam ungkapan YB Mangunwijaya, kekerasan sebenarnya merupakan sebentuk kebodohan! Pada dasarnya, manusia– dengan demikian juga masyarakat dan bangsa yang cerdas—dengan sendirinya tidak suka kekerasan. Kekerasan merupakan instingtif hewani, utamanya binatang buas, bukan sifat dasar manusia, masyarakat, bangsa yang bermartabat.<br />
Menyelesaikan konflik dengan cara-cara represif, melalui tindak kekerasan bahkan berlawanan dengan hak-hak asasi manusia dan prinsip demokrasi. Inilah yang sudah diserukan oleh Cultures of Peace Program UNESCO. Bangsa yang demokratis mestinya mengedepankan pendekatan damai daripada menggunakan kekerasan.<br />
Untuk itu, diperlukan keberanian untuk membuang mentalitas dualisme ”kita-mereka” (manicheanisme) demi meretas kekerasan yang mudah terjadi. Mentalitas manicheanisme cenderung memecah belah masyarakat menjadi musuh yang saling berhadapan, bahkan satu terhadap yang lain saling mengibliskan! Ujung-ujungnya, sikap ini melahirkan perilaku otoriter, represif, rasis, dan hanya akan memicu konflik dan perang.<br />
Meretas budaya kekerasan berarti pula berani berkeputusan untuk hidup (ber)damai dengan orang lain, bahkan lawan! Inilah yang diserukan Robert Murray (dalam Manual for Promoters of Justice, Peace, and Integrity of Creation, 2001: 265-266). Dalam nada yang puitis, Robert Murray menegaskan, ”Berkeputusanlah hidup damai/ Jadikanlah orang-orang lain hidup damai/; Janganlah mendengarkan penghasut perang, pengobar kebencian, dan pencari kekuasaan.”<br />
Semoga bangsa ini belajar dari pengalaman, bahwa kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan, melainkan justru melahirkan dendam dan luka bagi masa depan!<br />
<byline></byline><i><b>Aloys Budi</b> <b>Purnomo </b>Rohaniwan</i><br />
<br />
<i>Opini Kompas 16 April 2010 </i>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-41074576490798451922010-04-15T18:18:00.000-07:002010-04-15T18:18:05.088-07:00Fenomena Kolonialisme Pemda<span id="article_body">Pada zaman merdeka dan damai seperti sekarang, menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia lebih nyaman dibanding menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja sebab menjadi anggota TNI nyaris mustahil berhadapan dengan rakyat sendiri.<br />
Sebaliknya, menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sangat mungkin sering berhadapan dengan rakyat. ”Berhadapan” berarti berperang atau saling membantai. Artinya, setiap anggota Satpol PP sewaktu-waktu harus bersedia mengalami cedera atau bahkan tewas ketika menjalankan tugasnya.<br />
Begitulah. Dua paragraf di atas dikutip dari perbincangan rakyat di warung kopi sambil menyaksikan tayangan berita kerusuhan di Koja, Tanjung Priok, Rabu (14/4) hingga dini hari kemarin, yang menelan banyak korban.<br />
<br />
<a name='more'></a> </span><br />
<strong>Seperti penjajah</strong><br />
Tragedi demi tragedi maut seperti kerusuhan di Tanjung Priok sangat mungkin akan sering terjadi di banyak daerah karena banyak pemerintah daerah (pemda) pada zaman merdeka ini justru sering tampil seperti penjajah.<br />
Dengan berpijak pada regulasi yang dibuat sendiri, pemda bisa semena-mena merampas tanah milik rakyat untuk kepentingan pembangunan. Disebut merampas karena cara-cara pembebasan tanah sering berlangsung kejam terhadap rakyat.<br />
Dengan kata lain, penjajahan demi penjajahan yang dilakukan pemda terhadap rakyatnya sendiri pada era reformasi ini sering berlangsung masif dan didukung regulasi sehingga Satpol PP sebagai kaki tangan pemda seolah-olah hanya punya tugas untuk menghadapi rakyat yang berani melawan kebijakan pemda.<br />
Di mata rakyat, Satpol PP dianggap sama dengan serdadu penjajah yang menakutkan, dan jika terpaksa rakyat akan melawan mati-matian. Semua rakyat di daerah bisa saja tiba-tiba dipaksa bersatu melawan Satpol PP yang brutal dalam menjalankan tugasnya.<br />
Citra Satpol PP yang identik dengan serdadu penjajah di mata rakyat selayaknya segera disadari oleh semua penguasa daerah agar tragedi maut, seperti kerusuhan di Tanjung Priok, tidak terulang lagi.<br />
Dengan kesadaran tersebut, penguasa di daerah mungkin bisa lebih cermat menghitung setiap risiko atas kebijakannya yang mungkin saja terbilang korup.<br />
Setiap kebijakan pemda yang mengandung konflik kepentingan dan berisiko menimbulkan tragedi maut harus dianggap korup, dan jika kebijakan korup dipaksakan secara semena-mena, risikonya pasti akan membenturkan Satpol PP dengan rakyat.<br />
Dalam skala mikro, pemda sering mengeluarkan kebijakan korup dengan bentuk penggusuran paksa terhadap permukiman warga yang dianggap liar.<br />
Jika jumlah warga yang digusur hanya sedikit, penggusuran berlangsung lancar. Sebaliknya, jika jumlah warga yang digusur cukup banyak, mereka pasti akan melawan mati-matian. Pada titik ini, Satpol PP sering dipaksa untuk berhadapan dengan rakyat.<br />
Padahal, jika pemda memang mengharapkan semua warga untuk taat terhadap aturan, seharusnya langsung menertibkan setiap bentuk pelanggaran. Misalnya, jika ada rakyat yang membangun permukiman liar di tempat milik pemda atau milik pihak lain segera dilakukan tindakan proporsional tanpa menunggu permukiman liar berkembang luas dengan banyak penghuni.<br />
Dengan demikian, kebijakan pemda berupa penindakan-penindakan yang terlambat dan berisiko menelan banyak korban harus dianggap sebagai kebijakan korup. Dalam hal ini, semua pihak yang terlibat layak dihukum seadil-adilnya.<br />
Kepentingan rakyat<br />
Pada era otonomi seperti sekarang, pemda sering mengabaikan kepentingan rakyat terkait dengan pembangunan daerah. Padahal, setiap kampanye pemilihan kepala daerah, semua kandidat berjanji akan mengutamakan kepentingan rakyat.<br />
Dalam praktiknya, jika pemda peduli kepentingan rakyat, sering memosisikan rakyat sebagai obyek atau konsumen. Misalnya, jika ingin membantu rakyat memperoleh tempat tinggal layak, pemda membangun rumah susun lalu dijual kepada rakyat dengan harga tinggi. Akibatnya, rumah susun yang seharusnya untuk rakyat miskin justru banyak dihuni oleh mereka yang tergolong tidak miskin.<br />
Selain itu, pemda sering tidak bisa melihat kepentingan rakyat secara proporsional sehingga mengeluarkan kebijakan yang salah dan riskan. Misalnya, kepentingan rakyat yang bernilai sosial dianggap remeh oleh pemda. Atau, pemda membandingkan kepentingan sosial dengan kepentingan ekonomi, tetapi hanya menggunakan parameter-parameter ekonomi.<br />
Konkretnya, jika kepentingan ekonomi dianggap lebih menguntungkan, kepentingan sosial yang notabene kepentingan rakyat akan dikalahkan. Pada titik ini, pemda sering bertindak seperti penjajah sehingga rakyat sering terpaksa melawan mati-matian.<br />
Kapan fenomena kolonialisme pemda demikian akan berubah?<br />
<em><strong>ASMADJI AS MUCHTAR</strong> Doktor Dakwah dan Pembangunan Insan Universiti Malaya; Tinggal di Kudus</em><br />
<br />
<em>Opini Kompas 16 April 2010 </em>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-12995635254075163712010-04-15T18:16:00.000-07:002010-04-15T18:16:37.161-07:00Pelayanan Publik Vs AnggaranMASYARAKAT kini sedang harap-harap cemas menanti apakah Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang secara normatif akan berlaku Juni 2010 bisa direalisasikan. Aturan ini sangat menjanjikan karena mengatur standar pelayanan, tanggung jawab penyelenggara pelayanan publik, dan hak-hak publik atas pelayanan.<br />
<br />
Bahkan memuat pelayanan administrasi sipil yang secara tegas harus diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Janji manis ini kalau tidak dipersiapkan dengan baik hanya akan menjadi janji semata, mengingat kemampuan pengelolaan anggaran di badan publik dan lembaga-lembaga pelayanan publik masih memprihatinkan.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Simak saja komposisi penggunaan anggaran di APBN ataupun APBD selama ini. Rata-rata separo dari anggaran sudah terserap untuk biaya rutin, seperti belanja pegawai, peralatan pendukung operasional kegiatan, termasuk biaya perjalanan dinas dan biaya jamuan. Dengan begitu, kalau kemudian aturan tentang pelayanan publik diterapkan dengan standar tertentu, bahkan ada yang gratis, bisa dibayangkan besarnya kebutuhan anggarannya agar hal itu bisa terlaksana.<br />
<br />
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 yang terdiri atas 10 bab dan 62 pasal ini merupakan aturan pokok yang agak ketinggalan kereta mengingat sebelumnya sudah terbit UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Jauh sebelum UU Pelayanan Publik disahkan, lembaga Ombudsman sudah diatur mengenai fungsi dan perannya, yaitu mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan. <br />
<br />
Hal itu melingkupi di pusat ataupun daerah, termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN, serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu (Pasal 6 UU Ombudsman RI). Dalam konteks ini, Lembaga Ombudsman bertugas menangani pengaduan atau keluhan masyarakat meski UU Pelayanan Publik belum lahir.<br />
<br />
Dalam kondisi ada kekosongan UU, penanganan pengaduan atau keluhan masyarakat masih memakai tolok ukur dari beberapa peraturan, sepertu Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Kepmenpan Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Instansi Pemerintah, Kepmenpan Nomor 26 Tahun 2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan sebagainya.<br />
<br />
Kesiapan<br />
<br />
Kini persoalannya apakah unit-unit pelayanan publik yang ada sudah siap melaksanakan UU Pelayanan Publik mengingat standar pelayanan dan penanganan keluhan yang ditetapkan cukup tinggi? Hal lainnya juga patut diwaspadai mengingat sanksi atas pelanggaran dalam UU Pelayanan Publik sangat jelas, terstruktur, dan berjenjang, hingga terbuka kemungkinan kesalahan dalam pelayanan publik akibat (hukum)-nya ditanggung oleh beberapa personel dalam unit pelayanan publik yang ada. <br />
<br />
Yang sering kali ditunggu dalam konteks penerapan pelayanan publik adalah hak-hak yang diberikan kepada masyarakat pengguna jasa. Hak-hak tersebut kelihatannya normatif, tapi kalau kita cermati khususnya pada Pasal 18 (i) yakni mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan, tidaklah mudah penerapannya. <br />
<br />
Dari sisi asasnya saja ada 12 asas yang harus dipenuh seperti kepastian hukum, kesamaan hak, keprofesionalan, tidak diskriminatif, keterbukaan, tepat waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Sementara kriteria berkualitas tentu bisa muncul perdebatan panjang, jika pemerintah tidak mengatur lebih lanjut tentang kriteria tersebut.<br />
<br />
Tekanan besar berpeluang terjadi mengingat penanganan pengaduan internal yang tidak terselesaikan, bisa dibawa ke Ombudsman. Dan penanganan oleh Ombudsman melalui proses mediasi dan ajudikasi (keputusan Ombudsman) ini dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 dijamin yang diperoleh secara cuma-cuma ini tentu akan memudahkan masyarakat membuat pengaduan. <br />
<br />
Yang paling menjadi pokok penanganan pengaduan oleh Ombudsman adalah menangani keluhan masyarakat korban maladministrasi publik, contohnya menunda pelayanan, tidak sopan, menyalahgunakan kekuasaan, tidak adil, diskriminatif, minta imbalan di luar peraturan yang berlaku dan sebagainya. Soal anggaran, kita tidak perlu jauh-jauh mencari gambaran. Alokasi dana untuk pendidikan yang secara tegas diatur dalam UU sebesar 20 persen dari APBN ataupun APBD, sampai saat ini pun masih sulit dipenuhi. <br />
<br />
Kalau pelayanan publik yang cakupannya tidak hanya menyangkut pendidikan tapi juga kesehatan, ketenagakerjaan, penyediaan infrastruktur, dan pelayanan administrasi sipil harus dipenuhi, berapa anggaran yang dibutuhkan? <br />
<br />
Sekadar mengingatkan, karena UU mengatur pelayanan administrasi sipil seperti KTP dan kartu keluarga (Kk) harus diberikan secara cuma-cuma, berarti pemerintah harus siap menanggung biaya pembuatan KTP dan KK untuk penduduk yang berjumlahnya 300 juta jiwa lebih.(10)<br />
<br />
— Daryanto, alumnus Fakultas Hukum Unissula, Ketua Masyarakat Peduli Anggaran Negara (Mapang)<br />
<br />
Wacana Suara Merdeka 16 April 2010Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-45996848876513433692010-04-15T18:13:00.001-07:002010-04-15T18:13:53.508-07:00Priok, Spiral Kekerasan SosialTRAGEDI Priok kembali terulang meskipun berbeda dari tahun 1984 yang merupakan buah konflik antarelemen masyarakat sipil yang berhadapan dengan kekuatan represif negara dalam kondisi politik otoriter. Tragedi Priok 14 April 2010 melibatkan masyarakat yang berhadapan dengan aparatur penegak hukum sipil, Satpol PP. <br />
<br />
Bentrokan berdarah yang disulut rencana pembongkaran makam tokoh karismatik Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau Mbah Priok itu menyebabkan seorang tewas dan sedikitnya 134 orang luka-luka (SM, 15/04/10).<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Tragedi Priok II tersebut benar-benar peristiwa yang memilukan dan sekaligus memalukan. Memilukan karena kericuhan sosial (social riots) terjadi akibat ego arogansi aparatur penegak sipil Satpol PP yang lebih mengedepankan pendekatan represi dibanding komunikasi persuasi. Bentrokan antara personel Satpol PP dan warga pembela situs Mbak Priok yang di-back up ormas sosial keagamaan yang memiliki ikatan emosional kultural itu menjadi fokus keprihatinan skala nasional.<br />
<br />
Yang menyedihkan, setelah terjadi bentrokan muncul berbagai perang opini dan ‘’argumen” yang justru tidak menjadi penyejuk realitas konflik. Wagub DKI Jakarta Prijanto misalnya, mengatakan ada provokator dan ormas yang mendorong warga melawan upaya penertiban makam tersebut. Sementara arus opini mayoritas menyebutkan tindakan personel Satpol PP melanggar prinsip HAM, tidak bijak, dan jauh dari watak humanis.<br />
<br />
Dalam perspektif teori transformasi konflik, tragedi tersebut bisa dianalisis dalam berbagai paradigma pemikiran: Pertama, tragedi tersebut adalah bagian dari spiral kekerasan sosial yang telah melembaga dalam kultur penegakan hukum dan kuasa aparatur negara. Spiral kekerasan yang mengkontaminasi perilaku balasan dari masyarakat yang selama ini menjadi objek kekerasan personel Satpol PP.<br />
<br />
Lugas dan Keras<br />
<br />
Secara sosiologis warga Priok adalah masyarakat pantai yang memiliki karakter sosial yang lugas dan keras. Ketika menerima praktik kekerasan maka mereka justru akan bangkit dalam tindakan yang sama.<br />
<br />
Kedua, tragedi itu merupakan mata rantai struktur paralel kekerasan yang lazim terjadi dalam implementasi dari domain penegakan aturan daerah dan ketertiban umum. Berbeda dari kekerasan terhadap elemen masyarakat yang tidak terorganisasi semacam PKL tidak resmi, pengamen, pemukim liar komunitas di Priok terorganisasi dalam kultur keagamaan militan. Para aktor yang melawan arogansi Satpol PP adalah komunitas ‘’santri” yang selama ini beraktivitas ritual-religi di lingkungan makam Mbah Priok. Mereka terusik kehormatan spiritualnya oleh rencana penggusuran makam figur yang mereka hormati.<br />
<br />
Ketiga, social riots tersebut adalah bukti kegagalan negara dalam merombak karakter psikologis aparaturnya dalam alam demokrasi. Institusi Satpol PP di era demokrasi yang seharusnya lebih bisa memainkan peran sebagai penegak aturan sekaligus sebagai alat komunikasi masyarakat, menempatkan diri sebagai kekuatan antirakyat.<br />
<br />
Selama ini memang ada keprihatinan atas apa yang sering dilakukan oleh ”polisi perda” di banyak tempat. Terutama ketika mereka berhadapan dengan masyarakat sipil. Satpol PP alih-alih memainkan peran mediasi, negoisasi prakonflik untuk menjelaskan tugas dan tujuan penertiban. Yang terjadi peran eksekutor yang lebih dikedepankan.<br />
<br />
Ada beberapa instrospeksi yang bisa dipetik dari kejadian dari tragedi Priok II. Pertama; sudah waktunya ada perubahan kultur kekerasan yang lazim dilakukan aparatur penegak hukum ketika bersinggungan dengan aspirasi serta kepentingan masyarakat. Kultur kekerasan hanya akan beranak-pinak praktik kekerasan yang sama, bahkan mungkin lebih keras. Perlu ada ruang edukasi transformasi konflik di jajaran penegak hukum agar mereka bisa memahami anatomi konflik sehingga tidak terjebak menjadi aktor penyulut konflik laten-manifes.<br />
<br />
Kedua; menagih keseriusan pemerintah pusat-daerah untuk ‘’tidak asal’’ mementingkan syahwat ekonomi dan mengabaikan niat baik konservasi cagar budaya. Kasus itu tidak terjadi bila pemerintah daerah menghormati kawasan situs budaya. Makam Mbah Priok bagaimana pun adalah penanda peradaban Jakarta. Ketiga; perlunya kesadaran bersama antara komponen ”pemilik” kepentingan terhadap cagar budaya yang memiliki ikatan religio-sosial, dengan pemerintah untuk dalam satu pemahaman mengedepankan dialog yang mutual partnership, ketika terjadi isu penggusuran, dan sebagainya. Sehingga tidak ada politisasi ataupun mobilisasi kepentingan dari kelompok luar.<br />
<br />
Tidak ada jeleknya, Satpol PP Jakarta belajar dari Satpol PP di daerah misalnya di Solo yang kini telah memiliki kesadaran ”ideologis” baru. Mereka bekerja untuk penegakan hukum dan ketertiban dengan bersama masyarakat. Watak humanis, toleran dipadukan dengan kebijakan Pemkot Solo yang mencoba nguwongke (memartabatkan) masyarakat marginal. (10)<br />
<br />
— Ari Kristianawati, guru SMA Negeri 1 Sragen, pemerhati sosial dan transformasi konflik<br />
<br />
<br />
Wacana Suara Merdeka 16 April 2010Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-57544794927062467402010-04-15T18:12:00.000-07:002010-04-15T18:12:49.743-07:00Miras dan Gejala Eskapisme Semu’’PESTA Miras, Tiga Orang Tewas’’, demikian judul berita harian ini (SM, 04/04/10). Sedikitnya tiga nyawa warga Brebes melayang setelah mereka pesta minuman keras (miras) oplosan. <br />
<br />
Angka tersebut menambah panjang deretan jumlah korban jiwa sia-sia akibat me-ngonsumsi miras oplosan. Menurut catatan penulis, selama setahun terakhir miras oplosan merenggut sedikitnya 100 nyawa di seluruh wilayah Tanah Air. <br />
<br />
Diawali dari Kota Banjar dan Kabupaten Indramayu (Jawa Barat), Kota Semarang dan Kota Tegal (Jawa Tengah), Kabupaten Sanglah (Bali), Manokwari (Papua), tewasnya 9 warga Yogyakarta usai pesta miras oplosan jenis lapen Februari 2010, tewasnya empat orang warga Cengkareng, Jakarta akhir Maret 2010, hingga kejadian terakhir yang menewaskan tiga warga Brebes tersebut.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Meski belum didukung data empiris penelitian, banyaknya korban miras beberapa waktu terakhir ini menunjukkan makin meningkatnya gejala eskapisme: cara melarikan diri dari tekanan masalah secara semu. <br />
<br />
Fenomena ini dipicu oleh tekanan ekonomi yang mengHimpit dan menjadi beban hidup warga, antara lain akibat melambungnya harga kebutuhan pokok sehari-hari yang mengakibatkan daya beli masyarakat jatuh pada titik terendah.<br />
<br />
Henri Josserand dari Global Information and Early Warning System Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengingatkan bahwa inflasi yang diakibatkan oleh melambungnya harga bahan pangan merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Hal itu mengingat pengeluaran untuk pangan dari warga kelas menengah ke bawah menempati persentase terbesar dari total pengeluaran keluarga.<br />
<br />
Fenomena eskapisme ini merupakan bentuk frustrasi negatif yang sangat merugikan pribadi seseorang. Penyelesaian frustrasi mengandung usaha untuk meredusasi ketegangan-ketegangan yang ada. <br />
<br />
Melalui miras, untuk sementara waktu ketegangan-ketegangan dapat dikurangi, meski hanya bersifat semu. Tetapi susbstansi permasalahan sendiri belum terpecahkan, hanya mengalami penundaan sementara waktu (Kartini Kartono, 2005: 313-314)<br />
Bahasa Pergaulan Miras telah menjadi persoalan yang sangat kompleks bagi pemerintah daerah, khususnya bagi beberapa kabupaten/kota di wilayah pesisir. Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki kultur lebih permisif terhadap peredaran miras. <br />
<br />
Rasanya tak lengkap jika warga yang begadang pada suatu pesta tidak menenggak miras. Kehadiran miras sepertinya menjadi bahasa pergaulan, seperti rokok. Bagi telinga sebagian warga Kota Tegal, Brebes, dan sekitarnya, ucapan dudu batir angger belih nginung (bukan sahabat jika tidak minum miras) menjadi ungkapan jamak terdengar.<br />
<br />
Keinginan untuk membatasi dan mengawasi peredaran miras yang lebih ketat bukannya tidak ada. Beberapa daerah telah memiliki perda yang mengatur peredaran dan tata niaga miras. Namun perda-perda tersebut hanya seperti macan kertas, mandul dalam tataran implementasi.<br />
<br />
Nasib perda miras Pemkot Tegal Nomor 5 Tahun 2007 bahkan kandas di tengah jalan karena dianggap bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi. Di antaranya Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, serta Permendag Nomor 15/M-Dag/Per/3/2006 tentang Pengawasan dan Pengendalian Impor, Pengedaran, Penjualan, dan Perizinan Minuman Beralkohol. Hingga tragedi memilukan tewasnya 22 warga Kota Tegal usai pesta miras oplosan pertengahan April 2009, nasib produk hukum tersebut tak jelas lagi riwayatnya hingga kini.<br />
<br />
Upaya menanggulangi dampak negatif miras harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan. Bukan upaya yang hangat-hangat tahi ayam, setiap kali muncul kasus semua pihak seperti orang kebakaran jenggot, setelah itu kasusnya masuk peti es, untuk kemudian heboh lagi setelah terjadi kasus berikutnya.<br />
<br />
Penanggulangan penyakit masyarakat ini bukan hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum melainkan masyarakat juga harus ikut bertanggung jawab. Tokoh masyarakat, alim ulama, pendidik dan akademisi, dituntut perannya dalam memberikan pencerahan.<br />
<br />
Banyaknya korban tewas karena miras oplosan juga menjadi indikasi minimnya pengetahuan masyarakat terhadap bahaya mengonsumsi minuman itu. Sungguh, sangat sulit diterima akal sehat jika ada orang yang secara sadar mau minum minuman berkadar alkohol 99 %, kecuali jika motifnya ingin bunuh diri. Alkohol teknis yang biasa dipakai di laboratorium saja, kadar alkoholnya hanya 70%.<br />
<br />
Tak ada lagi alasan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bersikap masa bodoh terhadap persoalan ini. Harus ada pihak-pihak yang tak bosan memberikan pencerahan tentang bahaya miras bagi keselamatan jiwa. (10)<br />
<br />
— Toto Subandriyo, pemerhati masalah sosial, bergiat di Lembaga Nalar Terapan Tegal<br />
<br />
Wacana Suara Merdeka 16 April 2010Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-22021538522545206332010-04-14T18:04:00.000-07:002010-04-14T18:04:16.912-07:00Eugenika, Akhir Kekhilafan Pendidikan<div align="left">Ketika Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Nomor 9 Tahun 2009 dibatalkan Mahkamah Konstitusi, saya sempat tidak menyadari bahwa ada kekhilafan yang telah dikoreksi.</div>Saya yakin Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) adalah hasil pemikiran para akademisi dari perguruan tinggi. Namun, bagaimana mungkin sumbangan itu justru melahirkan produk hukum yang mengkhianati rakyat dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945?<br />
Saya pun yakin idealisme sebagian besar pendidik di perguruan tinggi belum tergadaikan untuk menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai ”industri jasa pendidikan”.<br />
Maka, menurut saya, memang tidak mudah menjalankan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tanpa kekhilafan.<br />
Oleh karena itu, tulisan ini<br />
lebih mengungkapkan kekhawatiran terhadap kekhilafan dunia pendidikan yang dapat membuat kita tanpa sadar keliru dan berakhir pada ”eugenika”.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Eugenika adalah upaya memperbaiki ras manusia dengan membuang orang berpenyakit, cacat, lemah, dan bodoh serta memperbanyak individu sehat dan cerdas. Penerapan keliru eugenika telah mengukir sejarah kelam tragedi kemanusiaan.<br />
Eugenika menjadi dasar pembenaran pelarangan pernikahan antarkelompok masyarakat, pemandulan hingga eutanasia terhadap kelompok masyarakat yang tidak diinginkan (baca: genosida). Teori seleksi alam Charles Darwin pun erat kaitannya dengan kelahiran pemikiran eugenika. Eugenika adalah kejahatan sains karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.<br />
Mungkinkah sistem pendidikan menjadi sumber kekhilafan yang berakhir pada eugenika?<br />
Hal ini tidak mungkin terjadi pada tingkatan produk hukum seperti UU Sisdiknas. Namun, implementasi produk hukum tersebut pada tingkat pelaksana bisa menghasilkan beragam kebijaksanaan karena dilandasi niat dan idealisme yang berbeda.<br />
<crosshead></crosshead><strong>Berbagai strata</strong><br />
Keinginan memperbesar peran serta masyarakat menyebabkan pelaksanaan sistem pendidikan terpecah menjadi berbagai strata kualitas lembaga pendidikan sesuai strata ekonomi masyarakat. Di satu sisi ada lembaga pendidikan dengan fasilitas pendidikan berkualitas super, di sisi lain lembaga pendidikan pemerintah memberikan fasilitas pendidikan gratis yang kurang memadai untuk kelompok masyarakat bertaraf hidup rendah.<br />
Maka, agar tidak ketinggalan dengan ”pebisnis” yang mengelola ”industri jasa pendidikan”, beberapa lembaga pendidikan pemerintah bermetamorfosa menjadi lembaga pendidikan pemerintah yang menyediakan layanan pendidikan berfasilitas khusus. Artinya, dengan biaya khusus dan hanya dapat dicapai oleh kelompok masyarakat berstrata ekonomi khusus pula.<br />
Tanpa disadari, terjadilah ”korupsi idealisme pendidik” dan ”pelecutan idealisme pendidik”.<br />
Sebagai pendidik, kita tak sepenuhnya dapat disalahkan atas apa yang terjadi karena ada tekanan memproduksi citra pendidikan yang berkualitas tanpa melihat makna pendidikan sebagai hak asasi manusia.<br />
Kita harus siap menerima bahwa pendidikan yang kita laksanakan akan menghasilkan manusia-manusia yang terbagi dalam berbagai predikat strata kualitas pendidikan.<br />
Predikat strata kualitas pendidikan yang berbeda memberi akses yang berbeda pula terhadap fasilitas penghidupan dan kehidupan. Manusia-manusia produk strata kualitas pendidikan baik akan mendapat fasilitas penghidupan dan kehidupan baik.<br />
Mereka menjadi kelompok masyarakat yang memiliki kualitas, harapan hidup, dan bereproduksi dengan baik serta mewariskan kesejahteraan hidup pada generasi berikutnya melalui strata kualitas lembaga pendidikan yang mampu dibiayainya.<br />
Sebaliknya, manusia-manusia produk strata kualitas pendidikan rendah akan mendapat fasilitas penghidupan dan kehidupan rendah pula. Mereka menjadi kelompok masyarakat dengan kualitas, harapan hidup, dan keinginan bereproduksi rendah, berpeluang lebih kecil untuk dapat mewariskan kesejahteraan pada generasi berikutnya.<br />
Seleksi alam telah terjadi dan eugenika akan menjadi kenyataan. Eugenika ini dipercepat lagi dengan adanya diskriminasi layanan kesehatan.<br />
Apabila kita tak ingin mengatakan eugenika sebagai akibat dari kekhilafan dalam pelaksanaan sistem pendidikan, mari kita hayati rasa ketidakadilan yang mengkristal sebagai akibat adanya perbedaan strata kualitas pendidikan ini.<br />
<br />
Tidak mudah merasakan kekhilafan ini, mungkin karena kita sedang dalam kemenangan melawan seleksi alam. Kesejahteraan dari pemerintah kepada para pendidik memberi peluang lebih baik untuk melewati seleksi alam ini. Namun, sebagai pendidik, kita bertanggung jawab terhadap semua kemungkinan dampak buruk kekhilafan pelaksanaan UU Sisdiknas.<br />
<crosshead></crosshead><strong>Cegah kekhilafan</strong><br />
Saya memang belum memiliki kapabilitas memadai untuk mengatakan ada yang salah dengan UU Sisdiknas. Namun, saya yakin tidak mudah menjalankan UU Sisdiknas tanpa kekhilafan. Maka, yang penting adalah bagaimana mencegah kekhilafan pelaksanaan UU Sisdiknas.<br />
Sebagai sistem yang terdiri dari banyak komponen, sisdiknas harus dievaluasi pelaksanaannya secara berkala dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan NKRI. Evaluasi diharapkan bisa memetakan kelemahan dan memprediksi dampak kelemahan terhadap sistem lainnya.<br />
Bagaimana kenyataannya? Sebagai contoh, kita tidak pernah disuguhi hasil analisis nilai ujian nasional (UN) dalam perspektif yang komprehensif seperti di atas. UN hanya diperdebatkan tanpa pernah selesai akibat berbagai kepentingan.<br />
Perdebatan UN yang berkepanjangan membutakan kita terhadap kekhilafan pelaksanaan amanat UU Sisdiknas. Kita terus membiarkan anak didik menjadi kelinci percobaan yang diamati kemampuan akademiknya setelah mendapat ”perlakuan pembelajaran”.<br />
Mereka pun kemudian terbagi dalam dua strata kualitas pendidikan: yang lulus UN sebagai kelompok manusia kualitas pendidikan baik dan yang tidak lulus UN sebagai kelompok manusia kualitas pendidikan buruk.<br />
Sebagai kelompok manusia strata kualitas pendidikan buruk, anak didik yang tidak lulus UN akan menghadapi risiko diskriminasi dalam kesempatan mengikuti pendidikan yang lebih baik. Anak didik yang tidak berdosa ini menjadi korban eugenika sebagai akibat kekhilafan.<br />
Tampaknya sebagian kita belum menyadari kekhilafan ini, bahkan setelah pengadilan memenangkan keberatan rakyat atas posisi UN. Pemerintah hanya mengubah posisi UN dalam penentuan kelulusan, semata karena tekanan publik bukan berdasarkan analisis komprehensif.<br />
Kepongahan akademik sebagian para pemikir kita belum memungkinkan nuraninya mereposisi UN sebagai upaya memperbaiki kekhilafan menjalankan amanat UU Sisdiknas.<br />
Namun, berbagai strata kualitas pendidikan terus terbentuk menguatkan friksi sosial, budaya, dan ekonomi dalam masyarakat. Ini selanjutnya membentuk ”kasta politik” dengan kebijakan diskriminatif yang tanpa sadar mengarah pada eugenika kelompok masyarakat marjinal.<br />
<byline></byline><em>D Darmakusuma Dosen Kimia Pemerhati <line></line>Bioetika dan Kejahatan Sains</em><br />
<br />
<em>Opini Kompas 15 April 2010 </em>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-61117071422340062192010-04-14T18:03:00.000-07:002010-04-14T18:03:13.889-07:00Mengelola Politik KarismaDemokrasi politik meniscayakan karisma dan hingga kini kita masih menyimak banyak fenomenanya. Di Indonesia, misalnya, tak hanya Megawati Soekarnoputri yang mempertegas posisinya sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, tetapi juga Susilo Bambang Yudhoyono yang restunya diyakini sangat menentukan siapa pucuk pimpinan Partai Demokrat.<br />
Di Thailand, demonstran ”Kaus Merah” yang menggegerkan pentas politik yang demikian masif tak lepas dari efek karisma mantan PM Thaksin Shinawatra. Di AS pun, hadirnya Barack Obama sebagai presiden juga tak dapat dielakkan dari karisma.<br />
Dalam khazanah sosiologi politik, Max Weber pernah menjelaskan adanya otoritas karismatis, yang terkait dengan persepsi adanya individu yang memiliki karakter pribadi dan ”kesucian” luar biasa, heroik, serta berdimensi kewahyuan. Otoritas karismatis ini bersifat familial dan ”keagamaan” (religious). Otoritas tradisional bersifat patriarkal, patrimonial, dan feodal. Otoritas legal lebih terkait pada aspek hukum dan kenegaraan modern dan bersifat birokratis.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Dalam konteks kekuatan karismatis, Joseph Nye mencatatnya sebagai ”the special power of a person to inspire fascination and loyalty”. Dalam tulisannya The Mystery of Political Charisma (Wall Street Journal, 6/5/2008), Nye mengulas hal-hal yang dikaitkan dengan fenomena politik karisma, khususnya atas Obama. Apakah karisma tumbuh dari individu, para pengikut (followers), atau di dalam situasi tertentu? Nye melihat karisma Obama terletak pada pengikutnya, yang terbimbing dalam menentukan calon yang tepat, justru sebagai cermin kebutuhan mereka ketika suasana negara yang menghendaki perubahan.<br />
Para ilmuwan politik telah mencoba mengukur skala karisma, misalnya dalam menentukan peringkat kandidat presiden. Dalam proses kuantifikasi tokoh ini, karisma ternyata bukan untuk semua orang dan bersifat fluktuatif. John F Kennedy yang sering dianggap karismatis, misalnya, gagal meraup mayoritas popular vote pada pemilu presiden 1960, peringkat popularitasnya pun fluktuatif selama menjadi presiden. Obama sekarang juga demikian. Rating popularitasnya fluktuatif, apalagi ketika beberapa kebijakan tidak populer ditempuh. Jelas, di sini karisma tak sekadar ”the mandate of heaven”. Karisma akan selalu diuji.<br />
Apa yang di Indonesia dikenal dengan julukan ”Ratu Adil” yang mesianistis tetap akan ada batasnya, justru ketika suatu saat disimpulkan akan tidak ada pemimpin yang mumpuni. Jatuh bangunnya pemimpin yang ironis, setidaknya mencatatkan hal itu.<br />
Adakalanya, karisma itu situasional dan kontekstual. Nye mencontohkan Winston Churchill. Pada 1939, Churchill sangat karismatis karena sepak terjangnya yang memukau dan membangkitkan rakyat Inggris di masa Perang Dunia II. Namun, pasca-1945, ketika masyarakat berbalik dari memenangkan perang untuk membangun negara kesejahteraan, karisma Churchill menurun dan harus pensiun dari politik. Apa yang diilustrasikan oleh Nye memberi pesan bahwa semua politisi butuh karisma, tetapi persoalannya apakah ia mampu mengelola dan menggunakannya untuk memprediksi diri sebagai pemimpin sukses.<br />
<crosshead></crosshead><strong>Kecerdasan pemimpin</strong><br />
Kita tidak dapat menyalahkan ”karisma” dalam politik. Harus kita akui, dalam masyarakat modern pun, hadirnya persepsi politik yang bahkan bertipe ”pejah-gesang” pun masih sangat dimungkinkan. Dalam konteks Indonesia dan Asia Tenggara, bahkan Asia, yang memiliki sejarah dan tradisi feodalistis yang panjang, psiko-politik irasional-karismatik masih terasakan. Politik dinasti masih suka mengejewantah dalam berbagai bentuknya, tak hanya di level nasional, tetapi juga di sejumlah daerah, seiring dengan adanya pemilihan kepala daerah langsung.<br />
Manakala pola politik karisma mengarah pada ketidakcerdasan, tentu sangat disayangkan. Yang terpilih semestinya tak berhenti sebatas menjadi elite, harus menjadi pemimpin (leader). Dalam masyarakat yang semakin rasional, manakala pemimpin karismatis gagal, masyarakat akan mencari sosok-sosok baru.<br />
Citra karismatis dibutuhkan, mulai dari politisi yang kelasnya baru dalam tahap memperkenalkan diri (dikenal), naik kelas ke disukai, hingga ke level didukung. Setelah kekuasaan politik diraih berkat citra karismatis, karismanya akan terus diuji. Akan tetapi, pemimpin sejati (autentik) tidak khawatir akan karismanya. Ia bekerja sesuai keyakinan dan visi. Kalau dukungan mengalir kepadanya, ia akan tetap rasional, tak manipulatif, apalagi menikmatinya sebagai sosok mitologis.<br />
<byline></byline><em><strong>M Alfan Alfian</strong> Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta</em><br />
<br />
<em>Opini Kompas 15 April 2010 </em>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-5085482609765489732010-04-14T18:02:00.000-07:002010-04-14T18:02:21.019-07:00Gayus dan Patologi Birokrasi<span id="article_body">Vices, maladies, and sickness of bureaucracy constitute bureaupathologies. They are not individual failings of individuals who compose organizations but the systematic shortcomings of organizations that cause individuals within them to be quilty of malpractices. (Gerald E Caiden, 1991).<br />
Gayus Tambunan mendadak saja menjadi orang yang terkenal saat ini di Indonesia. Bukan karena prestasinya di birokrasi meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru karena perbuatannya telah memperkokoh keyakinan tentang buruknya birokrasi Indonesia.<br />
Tidak semua birokrat seperti Gayus, tetapi kelemahan sistem organisasi seperti dituliskan oleh Caiden—seorang pakar ternama reformasi administrasi—telah membentuk citra menyeluruh mengenai buruknya birokrasi Indonesia.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Apa yang terjadi dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam birokrasi di Indonesia. Selain itu, jumlahnya pun tidak begitu besar dibandingkan dengan kasus- kasus serupa yang belum atau tidak terungkap. Akan tetapi, tetap harus disyukuri bahwa akhirnya kesadaran tentang korupsi dalam birokrasi semakin terbuka lebar dengan terkuaknya kasus Gayus.<br />
Maladministrasi yang saat ini mungkin dapat disebut dengan Gayusisme atau Bahasyimisme atau nama lain yang barangkali akan segera muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual, tetapi timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi birokrasi. Rumah tahanan, penjara, dan lembaga pemasyarakatan mungkin akan penuh dengan birokrat-birokrat yang merupakan golongan Gayusisme. Namun, apakah kita akan memenjarakan semua birokrat-birokrat dengan predikat Gayusisme tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut sebagai penyimpangan dan kesalahan yang bersifat individual.<br />
Caiden mendefinisikan maladministrasi sebagai <text bd="0" co="K" f="602" fontfamily="Chronicle Text G1" fontname="ChronicleTextG1-Italic" gray="100" h="9036m" it="1" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text>”administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or condut”. Pakar administrasi negara yang lain, seperti Kenneth Wheare, menyebutkan berbagai bentuk maladministrasi, seperti ilegalitas, korupsi, <text bd="0" co="K" f="602" fontfamily="Chronicle Text G1" fontname="ChronicleTextG1-Italic" gray="100" h="9036m" it="1" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text>neglect (kelalaian), <text bd="0" co="K" f="602" fontfamily="Chronicle Text G1" fontname="ChronicleTextG1-Italic" gray="100" h="9036m" it="1" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text>perversity (ketidakwajaran), <text bd="0" co="K" f="602" fontfamily="Chronicle Text G1" fontname="ChronicleTextG1-Italic" gray="100" h="9036m" it="1" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text>turpitude (kejahatan/kekejian), <text bd="0" co="K" f="602" fontfamily="Chronicle Text G1" fontname="ChronicleTextG1-Italic" gray="100" h="9036m" it="1" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text>discourtesy (ketidaksopanan), dan <text bd="0" co="K" f="602" fontfamily="Chronicle Text G1" fontname="ChronicleTextG1-Italic" gray="100" h="9036m" it="1" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text>misconduct (kelakuan menyimpang). Bahkan, Caiden menyebutkan ada 175 penyakit birokrasi yang sering kali terjadi dan dilakukan birokrat (<text bd="0" co="K" f="602" fontfamily="Chronicle Text
G1" fontname="ChronicleTextG1-Italic" gray="100" h="9036m" it="1" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text>common bureaupathologies).<br />
Di dorong rasa ingin tahu, penulis mencermati dan menganalisis bahwa semua penyakit yang disebutkan oleh Caiden terjadi di dalam konteks birokrasi di Indonesia pada saat ini. Coba kita bayangkan, menderita satu macam penyakit saja sering kali sudah sangat menyusahkan, apalagi menderita 175 jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan. Jumlah patologi birokrasi ini sebenarnya bisa lebih banyak di Indonesia mengingat penyakit birokrasi daerah tropis akan berbeda dengan birokrasi daerah subtropis seperti menjadi konteks dalam tulisan Caiden.<br />
Maladministrasi sebagai bentuk patologi birokrasi terjadi secara sistematik, bukan individual. Kelemahan dan kegagalan organisasi untuk membentuk sistem yang mencegah terjadinya penyakit-penyakit birokrasi akan menyebabkan perilaku menyimpang yang diterima secara kolektif. Bahkan, individu yang memiliki karakter unggul dan idealisme yang tinggi tidak akan bisa bertahan lama ketika masuk dalam birokrasi karena serangan penyakit yang demikian kompleks. Birokrat yang semacam ini memiliki tiga pilihan, yaitu menjadi bagian dari sistem yang sakit, dianggap sebagai pesakitan karena tidak menjadi bagian dari sistem, atau keluar dari sistem birokrasi.<br />
Fenomena Gayus, Bahasyim, dan nama-nama birokrat lain yang akan muncul serta menjadi bagian dari sindrom gayusisme atau bahasyimisme adalah patologi birokrasi yang sudah menahun dan sistemis. Patologi ini seperti gurita, merusak sel-sel produktif dalam birokrasi dan melibatkan hampir semua pejabat dalam semua strata. Bisa jadi, patologi birokrasi tersebut terjadi dari level menteri atau kepala lembaga pemerintahan, para direktur jenderal, direktur, kepala subdirektorat, kepala seksi, sampai dengan birokrat tanpa jabatan.<br />
Hal yang sama terjadi dalam birokrasi pemerintahan daerah. Apalagi setelah pilkada langsung, penyakit birokrasi daerah semakin parah dan sulit disembuhkan. Para birokrat, di samping sebagai pelaku, sebenarnya juga korban dari kejahatan yang ditimbulkan oleh buruknya sistem birokrasi Indonesia. Sebagai individu yang memiliki <text bd="0" co="K" f="602" fontfamily="Chronicle Text G1" fontname="ChronicleTextG1-Italic" gray="100" h="9036m" it="1" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text>self-interest, dalam sistem yang korup, para birokrat akan memilih menjadi bagian dari sistem tersebut, daripada harus menjadi pesakitan yang dianggap memiliki perilaku menyimpang.<br />
Itu sebabnya, mayoritas birokrat sebenarnya sangat berpotensi mengidap penyakit sindrom Gayusisme yang bersifat menular dan menahun. Sekarang bisa dibayangkan bahwa secara genetis mayoritas birokrat di Indonesia (meskipun tidak semua) adalah monster yang setiap saat berperilaku menyimpang dan berpotensi melakukan korupsi.<br />
<crosshead></crosshead><strong>Terapi radikal</strong><br />
Diagnosis terhadap patologi birokrasi di Indonesia sebenarnya sudah lama dilakukan. Bahkan, setiap masyarakat selalu merasakan dampak dari penyakit birokrasi dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan. Akan tetapi, tampaknya seperti orang yang sudah mengalami keter- gantungan pada obat, tidak mudah mengatasi penyakit-penyakit birokrasi tersebut. Problem dasar yang kita hadapi adalah komitmen politik untuk melakukan terapi terhadap penyakit tersebut. Karena jenis penyakit yang diderita sangat kompleks dan melibatkan lebih dari 175 penyakit sehingga dibutuhkan tidak saja komitmen politik yang tidak terbatas, tetapi juga terapi yang tepat.<br />
Munculnya korupsi ala Gayus yang telah menjadi isu nasional harus bisa dijadikan sebagai momentum pengobatan penyakit birokrasi secara menyeluruh. Perintah Presiden untuk mengungkap tuntas kasus mafia pajak dan mafia kasus tidak boleh hanya berhenti sekadar sebagai sindrom paruh waktu, tetapi harus terus bergulir menjadi semangat dan gerakan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Karena pada dasarnya korupsi yang terjadi dalam birokrasi tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga melibatkan penegak hukum dan juga politisi, maka terapi reformasi birokrasi harus dilakukan secara radikal.<br />
Namun, ini dilakukan antara lain dengan memutus media pertukaran kewenangan (<text bd="0" co="K" f="602" fontfamily="Chronicle Text G1" fontname="ChronicleTextG1-Italic" gray="100" h="9036m" it="1" jmp="0m" mode="0" modedata="0" small="0" w="9036m"></text>authority exchange) yang melibatkan pejabat birokrasi, pejabat penegak hukum, dan politisi. Reformasi birokrasi juga harus meliputi pengawasan yang ketat dan konsisten terhadap para pejabat birokrasi dan penegak hukum dengan metode pembuktian terbalik atas kekayaan yang dimilikinya. Pejabat yang memiliki kekayaan tidak wajar dibandingkan penghasilannya sebagai pegawai negeri, harus dapat membuktikan asal-usul kekayaannya tersebut. Pada sisi yang lain, promosi jabatan dalam birokrasi harus dilakukan secara terbuka dan berdasarkan catatan kompetensi dan kinerja yang dimiliki oleh seorang birokrat. Berbagai perbaikan sistem yang radikal ini diharapkan dapat menjadi obat pamungkas untuk mengurangi patologi dalam birokrasi. Semoga.<br />
<byline></byline><em><strong>Eko Prasojo</strong> Guru Besar dan Ketua Program <line></line>Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI</em><br />
<textmetadata></textmetadata><textlinkedpage number="6"></textlinkedpage><br />
</span> <!-- end isi berita --> <!-- komentar --> <div class="mt_20"> <div class="brd_b_1"> <!--s:rating and share --> <form action="document.rateform,'http://cetak.kompas.com/read/rate" id="rateform" method="post" name="rateform"> </form></div>Opini Kompas 15 April 2010</div>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-77939444714782803352010-04-14T18:01:00.000-07:002010-04-14T18:01:14.228-07:00Ideologi Media Massa<span id="article_body">Media massa hampir selalu berada dalam impitan dua kepentingan. Kepentingan pertama, bisnis. Kepentingan kedua, idealisme.<br />
Di tengah dua kepentingan itu sangat sulit bagi konsumen pers mengharap sajian media massa yang tidak berpihak. Sajian pers Indonesia pun tidak terlepas dari kapitalisme media di satu sisi, dan euforia publik di sisi lain. Euforia publik dan kapitalisme media itu dibentuk oleh terpaan globalisasi dan hedonisme, yang mengakibatkan kesenjangan komunikasi antara pengelola lembaga media, dengan berbagai pemangku kepentingannya.<br />
Perbedaan mindset antara pemilik dan pengelola pers dengan konsumen pers merupakan embrio kegagalan media massa membangun human dignity di tengah kehidupan individu dan masyarakat. Salah satu dampaknya adalah lubernya aksesibilitas pers dalam membentuk, mengarahkan, dan mengendalikan opini publik, yang tak diimbangi akuntabilitas eksternal media massa sebagaimana seharusnya.</span><br />
<span id="article_body"><a name='more'></a><br />
<crosshead></crosshead><b>Konsumen pasrah saja</b><br />
Dalam konteks ini, sajian pers nasional kita kurang mampu menyeimbangkan pemenuhan kepentingan produsen informasi dan konsumen informasi. Pengelola pers sering menyajikan informasi, yang mengesampingkan kepentingan ideologi media massa, akibat kuatnya dorongan pemenuhan kepentingan bisnis pers. Sebaliknya, konsumen pers pasrah kepada sajian apa pun yang diberikan oleh produsen informasi publik tersebut.<br />
Dorongan prioritasi ideologi media dalam sajian pers mengakibatkan eksploitasi kepentingan manusia. Salah satu bentuk konkretnya adalah depersonilisasi dan desakralisasi simbol kemanusiaan dalam sosok perorangan atau kelompok. Selain itu, sajian media massa kuat bukan dalam sosok kultur, melainkan struktur. Akibatnya, tanpa disadari oleh konsumen pers pada umumnya, di samping tanpa kesengajaan pengelola pers itu sendiri, muncullah desakralisasi kepentingan pribadi manusia sebagai individu, bersamaan dengan munculnya sakralitas kepentingan kelompok manusia sebagai sebuah struktur.<br />
Ideologi media massa semakin memperkuat kecenderungan kapitalisasi informasi publik dalam berbagai format. Baik format sosial, format politik, maupun format kebudayaan, dan lain-lain. Kapitalisasi informasi publik ini dikelola dalam modus jurnalistik yang mampu memosisikan kepentingan simbol tertentu menjadi ”tidak layak dijual”, padahal sebetulnya simbol-simbol itu memenuhi syarat nilai berita.<br />
Pemberitaan pers nasional kita yang sarat konflik antara tuntutan ideologi dan kapitalisme pers mengakibatkan informasi di dalam media massa hampir selalu dipertimbangkan dari aspek ”nilai jualnya”. Informasi tertentu, sekalipun sarat nilai berita, sejauh dipandang kurang/tidak layak jual akan cenderung disingkirkan di lembar media massa cetak atau durasi media radio dan televisi.<br />
<crosshead></crosshead><b>Kapitalisme pers</b><br />
Ideologi media massa yang takluk di bawah cengkeraman kapitalisme pers membentuk sikap dan perilaku pekerja pers yang memosisikan informasi semata-mata sebagai komoditas. Informasi tanpa bobot komoditas dinilai jauh dari rasa ingin tahu (sense of curiosity). Padahal, pemenuhan keingintahuan manusia itu pada umumnya sangat bergantung kepada kemauan baik pengelola lembaga media massa dalam menyajikan informasi.<br />
Konflik kapitalisme pers dan ideologi media massa mengakibatkan buramnya nilai-nilai pragmatisme dalam pers. Salah satu risikonya adalah pemberitaan pers yang cenderung tidak bertanggung jawab terhadap berbagai dampak pemberitaannya. Itu sebabnya tidak mengherankan bila tanggung jawab sosial pers lantas nyaris tidak dihiraukan oleh pekerja pers. Pada gilirannya, pertanggungjawaban pers berada di luar kerangka profesionalisme media massa dan tanggung jawab kemanusiaan.<br />
Impitan kepentingan komersial dan ideal dalam pers mempersulit peran publik di dalam ikut menentukan warna media massa yang dipilihnya (untuk dibaca, didengar, dan dipirsa). Di tengah kecenderungan demikian, sulit bagi kita mengharapkan sajian pers bermoral. Terutama pers yang berupaya memprioritaskan kepentingan obyektif, bila secara komersial merugikan. Atau pers yang memparadigmakan kepentingan orang-orang tertindas, tetapi bertentangan dengan ideologi media massa yang bersangkutan.<br />
<i>Novel Ali Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip</i><br />
<line></line><br />
<textmetadata></textmetadata><textlinkedpage number="6"></textlinkedpage>Opini Kompas 15 April 2010<br />
</span> <br />
<div class="mt_20"><div class="brd_b_1"><form action="document.rateform,'http://cetak.kompas.com/read/rate" id="rateform" method="post" name="rateform"><div style="border-top: 1px solid rgb(238, 238, 238); margin-top: 20px; padding: 5px 0pt;"><div class="toolartikelkiri"><script>
function fbs_click() {u=location.href;t=document.title;window.open('http://www.facebook.com/sharer.php?u='+encodeURIComponent(u)+'&t='+encodeURIComponent(t),'sharer','toolbar=0,status=0,width=626,height=436');return false;}
</script></div></div></form></div></div>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-62518352777171608942010-04-14T17:58:00.001-07:002010-04-14T17:58:54.841-07:00Budaya Hidup Bersih di GroboganKEBERHASILAN Kabupaten Grobogan memperbaiki peringkat perolehan Adipura beberapa tahun terakhir ini, haruslah kita syukuri. Hal itu mengingat tahun-tahun sebelumnya kendati telah bekerja keras untuk memperbaiki peringkat, hasilnya masih jauh dari harapan masyarakat. Baru beberapa tahun terakhir inilah dapat memperoleh hasil menggemberikan. Kesuksesan itu menjadikan daerah ini menjadi salah satu yang diperhitungkan dalam persaingan meraih penghargaan tersebut. <br />
<br />
Apalagi saat ini Grobogan terus berbenah. Bekerja keras untuk memperbaiki 20 titik atau kawasan yang menjadi penilaian. Terutama areal pasar, sekolah, jalan raya, dan terminal. Bila kerja keras ini selalu konsisten dilaksanakan, maka tidak mustahil ke depan daerah ini dapat meraih prestasi terbaik. <br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Penulis merasa optimistis, tidak lama lagi prestasi terbaik itu bisa dicapai, asalkan segenap masyarakat istikamah dalam merealisasikannya. Seluruh elemen hendaknya terus berusaha untuk membawa daerah ini menjadi kota yang bersih, rapi, dan indah. <br />
<br />
Untuk itu, hal yang seyogianya dilaksanakan adalah perlunya menggalakkan kembali budaya bersih dan ramah terhadap lingkungan yang dulu pernah dicanangkan oleh Pemkab. Agar gerakan budaya bersih dan ramah lingkungan itu dapat berjalan maksimal, Pemkab hendaknya bisa menjadi pelopornya. Jangan sampai terjadi Pemkab yang mencanangkan, tetapi justru malah tidak bisa untuk dijadikan panutan. <br />
<br />
Dalam konteks ini tidak ada pilihan lain bagi Pemkab kecuali harus mau dan mampu menjadi teladannya. Salah satunya adalah dengan cara lingkungan Pemkab setiap saat harus senantiasa bersih. Jangan sampai terlihat adanya kotoran sedikitpun di lingkungannya. <br />
<br />
Bila perlu untuk menumbuhkan budaya bersih dan ramah lingkungan itu, Pemkab menerapkan hukuman bagi seluruh pegawai dyang terbukti tidak dapat menjaga kebersihan. Semisal membuang buntung rokok serta sampah sembarangan dan sebagainya.<br />
<br />
Dengan diterapkannya aturan tegas tersebut, diharapkan budaya bersih akan tercipta di lingkungan Pemkab. Selanjutnya gerakan budaya bersih dan ramah lingkungan dengan sendirinya akan ditiru oleh pemerintah tingkat kecamatan dan desa. <br />
<br />
Menjadi Teladan<br style="font-weight: bold;" /><br />
Dalam hal ini, segenap pemerintah kecamatan dan desa juga harus mampu menjadi teladan dalam menciptakan budaya bersih dan ramah lingkungan. Setiap pegawai kantor kecamatan dan perangkat desa seyogianya bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa kebersihan dan ramah terhadap lingkungan telah menjadi bagian dalam kehidupannya sehari-hari.<br />
<br />
Di samping itu, mengingat penting dan mendesaknya budaya bersih dan ramah lingkungan segera terealisasi maka seluruh masyarakat diharapkan mendukung gerakan tersebut. Sebab penulis yakin tanpa ada dukungan dan kesadaran seluruh elemen masyarakat upaya menggalakkan budaya bersih dan ramah lingkungan tidak dapat berjalan baik. <br />
<br />
Dalam kaitan hal itu, peran tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat dibutuhkan. Mereka diharapkan dapat mengambil peran aktif untuk membimbing anggota masyarakat membiasakan hidup bersih dan ramah lingkungan. Dengan peranan aktif tokoh itulah, gerakan menciptakan budaya besih dan ramah lingkungan dipastikan berjalan optimal. Tokoh agama dapat mengimbau masyarakat untuk selalu hidup bersih dan ramah lingkungan lewat majelis-majelis pengajian dan lain-lain. Setiap saat memberi ceramah atau mauidhah hasanah, tokoh agama dapat menyelipkan materi tentang pentingnya budaya bersih dan ramah lingkungan.<br />
<br />
Begitu pula halnya dengan tokoh masyarakat. Setiap ada forum warga, seperti rapat tingkat RT, RW dan desa, diharapkan dapat mengampanyekan budaya bersih dan ramah lingkungan. Bahkan bila perlu berbagai lomba tentang kebersihan lingkungan kembali digalakkan. Mulai tingkat RT, RW, desa, kecamatan, sampai kabupaten diadakan perlombaan kebersihan lingkungan secara serempak. <br />
<br />
Dengan adanya teladan dari Pemkab dan dukungan total dari elemen masyarakat secara konsisten, niscaya tidak lama lagi budaya bersih dan ramah lingkungan terwujud di seluruh wilayah Grobogan. Dengan demikian, impian masyarakat agar daerahnya memboyong piala Adipura dapat terealisasi. (10)<br />
<br />
— M Saifuddin Alia, Ketua Lajnah Taílif Wan Nasyr Kabupaten Grobogan, Sekretaris Forum Nasional Pers Pesantren (FNPP) Jateng<br />
<br />
Wacana Suara Merdeka 15 April 2010Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-61412136420575690662010-04-14T17:57:00.001-07:002010-04-14T17:57:56.343-07:00Budaya dan Karakter BangsaJIKA kita menapaki Hopkins Memorial Steps di Massachusetts terbaca jelas inkripsi yang puitis: Climb high / Climb far / Your goal the sky / Your aim the star. <br />
<br />
Mendidik adalah menyentuh masa depan. Manusia bisa meraih lebih dari sekadar sepanjang tangannya. Tatkala Aristoteles ditanya apa bedanya orang yang terdidik dengan orang yang tidak berpendidikan, jawabannya amat menyengat: ‘’Sama saja membandingkan orang hidup dengan orang mati’’.<br />
<br />
Francis Bacon, filsuf Inggris pernah menyatakan bahwa knowledge is power. Tidak ada batas usia untuk belajar, menimba ilmu, menambah pengetahuan. Makin banyak kita belajar, semakin sadar kita akan banyaknya rahasia alam yang belum terungkap. Apa yang sudah kita ketahui bisa diibaratkan beberapa butir pasir di pantai yang luas.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Dengan pengetahuan terbatas, merasa tahu segalanya sedangkan sesungguhnya hanya tahu sedikit, seseorang bisa merusak kehidupan manusia dan planet Bumi ini.<br />
Tugas guru dan dosen sebagai pendidik adalah tugas yang mulia, bermartabat. Ketika Hiroshima dan Nagasaki hancur luluh tertimpa bom, pertanyaan Kaisar Jepang yang pertama-tama adalah,’’Masih adakah guru-guru yang selamat?’’ <br />
<br />
Dalam pidato pengukuhan gelar doktor (HC) di Universitas Indonesia tahun 1977, Roosseno mengatakan,’’Kami yakin kadar intelektualitas bangsa Indonesia cukup baik. Yang perlu ialah ketekunan dan kesempatan. Di samping itu saya ingin menganjurkan apa yang disebut dalam bahasa Belanda dengan istilah morcele herbewapening atau kesiapsiagaan moral’’.<br />
Pendidikan Budaya Mengenai pendidikan budaya, kiranya perlu diingat bahwa menurut Koentjaraningrat budaya menyangkut tiga lapisan. Lapisan terdalam sebagai intinya adalah norma dan tata nilai. Lapisan kedua adalah perilaku, adat-istiadat, tata cara, ritual. Lapisan terluar adalah artefak fisik yang paling kasat-mata seperti seni tari, seni lukis, seni drama, seni patung, arsitektur. <br />
<br />
Dewasa ini nampaknya perhatian terlalu tercurah pada budaya lapis terluar yang memang cukup menjanjikan dan bisa menghasilkan keuntungan finansial. Yang menyangkut norma, tata nilai, adat, kesantunan, keadaban, dan budi pekerti, nyaris terlupakan.<br />
<br />
Manusia adalah mahluk budaya yang selalu berkiprah memberi makna kepada kehidupan, mengembangkan kemanusiaan, dan menumbuhkan rasa atau kesadaran akan identitas atau jati diri. Indonesia adalah negara yang plural, jamak, memberagam, dan sasra budaya atau multikultur. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu) dan Tan Hana Dharma Mangrwa (Tak Ada Kebenaran yang Mendua) mesti tetap dipegang teguh dalam setiap pengambilan kebijakan dan perumusan program atau rencana. Kata Bung Karno,’’Tamansari dengan aneka bunga lebih indah daripada hutan dengan satu jenis pohon’’.<br />
<br />
Jadi pendidikan budaya di Indonesia mesti mengakui, menghormati, dan mengembangkan keragaman yang merupakan mosaik indah itu. Jangan diseragamkan. Dalam bidang arsitektur, misalnya, di Jawa terdapat kearifan budaya lokal berupa Petungan dan Kawruh Kalang. Wujud bangunannya bervariasi mulai dari panggang pe, kampung, limasan, sampai joglo. <br />
<br />
Di Bali masih dianut kaidah desa-kala-patra (tempat-lokasi-waktu), Tri Hita Karana, Hasta Kosala Kosali. Di Lombok ada ketentuan tentang Awig-Awig, Sasi Taun. Di Toraja atap rumah tradisionalnya juga tidak kalah unik, diberi nama tongkonan. Di Padang terdapat rumah gadang dengan atap bagonjong.<br />
<br />
Kearifan-kearifan lokal, budaya setempat, pola-pola tradisional yang masih dianut oleh masyarakat adat, jangan sampai punah akibat terpaan Globalisasi yang cenderung menciptakan cultural homogenization, Manhattanization, atau McDonaldization. Berbagai negara berkembang pun sudah mulai melakukan gerakan counter culture yang lazim disebut dengan glocalization atau globalization with local flavour.<br />
<br />
Para guru dan dosen berperan sebagai pengawal peradaban. Jangan sampai para murid atau mahasiswa Indonesia mengidap rasa inferior, rendah diri, atau minderwaardig complex menghadapi masyarakat negara maju.<br />
<br />
Kita semua juga mesti mengubah mindset kita dari semula introvert menjadi extrovert. Kita tunjukkan ke dunia luar kekayaan budaya milik kita. Jangan sampai terulang lagi kisah reog Ponorogo, angklung, lagu ‘’Rasa Sayange’’, tari pendet, dan lain-lain, yang diklaim menjadi milik Malaysia. Begitu pentingnya pendidikan karakter, sampai-sampai ada yang menulis puisi singkat:<br />
<br />
‘’Ketika kekayaan hilang, tak ada yang hilang Ketika kesehatan hilang, sesuatu yang hilang Ketika karakter hilang, semuanya hilang’’ Kisah tragis komedis tentang miliarder Gayus Tambunan dan Bahasyim menyiratkan tentang hilangnya karakter akibat mental dan moral yang tidak terpuji.<br />
<br />
Tidak heran bila penilaian tentang keberhasilan seseorang tidak hanya diukur dengan intelligence quotient (IQ) melainkan ditambah dengan emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ). Pendidikan karakter memang dimaksudkan untuk menghasilkan manusia yang tidak sekadar pandai, cerdas, berotak cemerlang, profesional, namun juga memiliki nurani, empati, rasa, dan kepedulian.(10)<br />
<br />
— Prof Ir Eko Budihardjo MSc, Ketua Badan Penyantun Dewan Kesenian Jawa Tengah, Ketua Pembina YPSDM Forum Rektor Indonesia<br />
<br />
Wacana Suara Merdeka 15 April 2010Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-30917489204440577532010-04-14T17:56:00.000-07:002010-04-14T17:56:53.716-07:00Proses Teaching with LovePALING tidak kita mempunyai dua pengalaman dalam mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa, yaitu masa rezim Soekarno dan di masa rezim Soeharto. Pada masa demokrasi terpimpin dan pada era demokrasi Pancasila. Yang pertama dikenal dengan cara program santiaji dalam rangka nation and character building, atau membangun karakter bangsa, dan yang kedua dilaksanakan lewat program penataran P4, yang berisi pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila. <br />
<br />
Keduanya dilaksanakan lewat jalur pendidikan formal dalam kerangka kurikulum sekolah, ataupun dalam jalur pendidikan nonformal atau luar sekolah.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Pengalaman menunjukkan bahwa kedua program itu berhasil mencetak anak bangsa dengan karakter yang monolitik, karena keduanya dilakukan dengan pendekatan satu pihak dan drilling. Itu semua bertentangan dengan pengertian dan pendekatan pendidikan. Kita tahu pendidikan merupakan proses membantu peserta didik dalam mencapai kedewasaan, fisik, mental, ataupun sosial. Semuanya dilakukan dengan pendekatan kasih sayang. Namanya teaching with love. Nama lain adalah pendidikan budaya atau cultural learning.<br />
<br />
Pendidikan budaya (cultural learning) bukan berarti pendidikan ilmu kebudayaan, untuk menjadi ahli kebudayaan. Tidak juga untuk menjadi budayawan. Yang dimaksud adalah pengembangan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang mendasarkan pada kekayaan nilai objektif dan selektif ataupun idealisme bangsa.<br />
<br />
Sehubungan dengan perkembangan zaman dan kemajuan iptek di era informasi yang serbacepat berubah, karakter bangsa harus mampu mengantisipasi semua perubahan yang bakal terjadi. Karakter itu harus menjadi mentalitas serbaunggul, seperti demokratis, keterbukaan, berorientasi ke depan meski tidak tercerabut dari nilai luhur bangsa, menghargai keluhuran nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. <br />
<br />
Dalam bahasa lain, itulah nilai-nilai Pancasila yang utuh.Itu sebabnya kebudayaan harus diartikan sebagai semangat, tradisi, moralitas, tata nilai ataupun idealisme bangsa. Semua kualitas nilai itu bukan sekadar diinformasikan, melainkan dihayati dan diamalkan sepanjang masa dalam semua aspek kehidupan. Itu semua berlangsung melalui proses budaya.<br />
<br />
Konsep tripusat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara sangat tepat untuk digunakan sebagai pendekatan proses pendidikan. Yaitu lewat keluarga, lembaga sekolah, dan kelembagaan sosial, yang disinergikan dalam suatu koordinasi yang demokratis. Secara simultan semua nilai ideal bangsa dan selektif itu dikomunikasikan lewat ketiga lembaga tadi.<br />
Dikomunikasikan Nilai ataupun mentalitas tidak bisa diajarkan, demikian kata Bung Karno mengutip sebuah tulisan di sebuah universitas di Meksiko. <br />
<br />
Nilai ataupun mentalitas bangsa hanya bisa dikomunikasikan lewat komunikasi sosial atau lewat proses budaya. Itu berarti nilai ataupun mentalitas ideal itu harus sudah dihayati dan diamalkan oleh seluruh generasi tua, dan kemudian dikomunikasikan kepada generasi baru lewat pergaulan sosial budaya. Tanpa ada pemaksaan, tanpa ada arogansi pada generasi tua. Dan tanpa ada kemunafikan.<br />
<br />
Karenanya tidak boleh terjadi adanya disonansi kognitif dalam diri generasi muda. Artinya tidak boleh terjadi peserta didik dibuat bingung karena apa yang diajarkan di sekolah bertentangan dengan apa yang disaksikan setiap hari dalam kehidupan orang dewasa dalam masyarakat. Ini yang disebut disonansi kognitif. Yang mengakibatkan makin jauhnya tata nilai ideal dihayati generasi muda.<br />
<br />
Sebaliknya generasi tua harus dengan tulus hati mengomunikasikan seluruh tata nilai ideal bangsanya, seluruh nilai luhur dan mentalitas bangsanya dengan seluruh kejujurannya, dengan seluruh integritas dirinya dikomunikasikan kepada generasi muda. Dengan cara demikian proses pendidikan dengan sepenuh hatinya atau teaching with love terjadi.<br />
<br />
Paling tidak ada tiga paradigma pendidikan yang kita ketahui. Pertama bahwa pendidikan adalah proses mentransmisikan budaya. Ini bersama dengan proses pelestarian budaya. Yang diajarkan adalah semua tata nilai yang dianut generasi tua. Itu yang terjadi dalam masyarakat bangsa berkembang. Kedua, pendidikan adalah proses mentransformasikan budaya. <br />
<br />
Ini berarti tujuan pendidikan adalah bersifat antisipatoris. Generasi muda selalu diarahkan untuk menangani kondisi masyarakat di masa depan yang dicita-citakan. Ini merupakan kebijakan pendidikan dalam masyarakat sosialis yang selalu membuat perencanaan pendidikan secara bertahap.<br />
<br />
Paradigma ketiga adalah bahwa pendidikan merupakan proses di mana setiap generasi muda bisa memilih arah bagi pengembangan diri. Ini dikembangkan dalam masyarakat liberal. Nampaknya sesuai dengan fungsi maupun tujuan pendidikan yang tertuang dalam Pasal 3 UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 sesuai dengan gabungan ketiga paradigma pendidikan tersebut. Coba perhatikan berikut ini.<br />
<br />
Fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan, membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Sedangkan tujuannya adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. Juga mengembangkan potensi generasi muda menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Memiliki berbagai kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual ataupun kecerdasan kinestetika.(10)<br />
<br />
— Abu Su’ud, guru besar emiritus Unnes dan guru besar IKIP PGRI Semarang<br />
<br />
Wacana Suara Merdeka 15 April 2010Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-38167408605941421222010-04-14T11:01:00.000-07:002010-04-14T11:11:56.868-07:00Melihat Artikel dibayar Rp 300,00 - Rp 3.000,00. Siapa Yang Mau?<span class="fullpost">Kemarin baru jalan-jalan di sebuah forum. Di forum tersebut dijelaskan bahwa ada program baru, kaya PTC, namun bayarannya super mahal. Kalo PTC biasa bayarannya adalah 300, namun PTC yang ini bayarannya antara 300 - 3000 wow.... Saya sudah mencobanya dan nilai terbesarnya adalah 3.000 rupiah, kalo aslinya sih $0.3 wow...</span><br />
<br />
<span class="fullpost"><br />
</span><br />
<div style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: x-large;"><b><span class="fullpost">20 X 500 = 10.000 sehari</span></b></span></div><div style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: x-large;"><b><span class="fullpost">20 X 500 X 30 = 300.000 sebulan</span></b></span></div><span class="fullpost"><span style="font-size: x-large;"><b style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">20 X 500 X 12 = 3.600.000 setahun</b></span></span><br />
<span class="fullpost"><span style="font-size: x-large;"><b style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">20 x 500 x 12 x 5 = 18 JUTA LIMA TAHUN </b></span></span><br />
<span class="fullpost"><span style="font-size: x-large;"><b style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">wow fantastik</b></span></span><br />
<span class="fullpost">Ingin mencoba silakan daftar saja di sini :</span><br />
<span class="fullpost"><br />
</span><br />
<div style="color: red;"><b><span class="fullpost"><span style="background-color: blue; font-size: x-large;">KLIK DISINI UNTUK MENDAFTAR</span></span></b></div><div style="color: red;"><br />
<br />
<b><span class="fullpost"><span style="background-color: blue; font-size: x-large;"><br />
</span></span></b></div><div style="color: black;"><span class="fullpost">untuk caranya download Ebook saya di bawah :</span><br />
<span class="fullpost"><b style="color: red;">DOWNLOAD EBOOK</b></span></div><div style="color: red;"><b><span class="fullpost"><span style="background-color: blue; font-size: x-large;"><br />
</span></span></b></div><span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<span class="fullpost"><br />
<br />
<br />
</span>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-7110945388452722029.post-13982180509707578952010-02-26T19:05:00.000-08:002010-02-26T19:05:25.345-08:00Knowing the Ins and Outs of Chandelier ExitHave you ever heard of a stop placement strategy that trails stop based on previous 'high' points? It is called Chandelier exit as it hangs down from the high point or the ceiling of our trade, just as a chandelier hangs from a room ceiling. The distance, which is usually calculated from the high point to the trailing stop; could also be calculated in dollars or in contract based points. However, the value of this trailing stop moves upward very promptly as higher highs is reached.<br />
<span class="fullpost"><br />
<a name='more'></a><br />
</span><br />
The Chandelier Exit, which has a trailing stop from either the highest high of the trade or the highest close of the trade, is best measured in units of Average True Range (ATR). One of the many factors leading to use ATR for measuring the distance from the high to our stop is that, it is pertinent across markets and is adaptive to changes in unpredictability.<br />
<br />
The essence of this calculative measure is that, even on expansion and contraction of trading ranges, our stop will automatically adjust and move to the apt level, thereby, constantly staying in tune with changing market conditions. Chandelier Exit is one of the most tried exit methodology used across a varied portfolio of futures markets to generate profitable test results.<br />
<br />
It is imperative that the changes in unpredictability can curtail or stretch the distance to the actual stop, since the highs used to hang the Chandelier move only upward. However, in order to witness less fluctuation in the stop distance, you can use a longer moving average to calculate Average True Range. In other ways, shorter moving average is required, in case you want the stop placement to be more adaptive to fluctuating market conditions.<br />
<br />
When short averages for the ATR is used; brief periods of small ranges can bring the stops too close, abnormally resulting in premature exit. To avoid this, you can have a short and highly adaptive ATR while calculating a short average and a longer average and using the average that produces the widest stop.<br />
<br />
Although Chandelier Exit differs from Channel Exit (which trails a stop based on previous 'low' points), the combination of both, where the trade is initialized by the trailing Channel Exit and then adding the Chandelier Exit, after the price has moved away from the entrance point, will help in making the open trade lucrative. Here the Channel Exit is fastened at a low point and does not move up as new profits are accomplished. At the same time, it is necessary to have the Chandelier Exit at the right position so that the exits are never too far away from the high point of the trade.<br />
<br />
The fundamentals behind combining the exit techniques, Channel and Chandelier exit is that, while Channel Exit as a suitable stop that very steadily rises at the commencement of the trade, switching over to Chandelier Exit is necessary to ensure better exit that protects more of our profit. This feature makes Chandelier Exit one of the most sought after rational exits from the profitable trades.Unknownnoreply@blogger.com