Lexus dan Pohon Zaitun Kita



Apa yang dipahami para pengambil kebijakan tentang ”penertiban” Gapura Mbah Priuk di Tempat Pemakaman Umum Dobo pada Rabu (14/4)?
Pertama, tentu landasan hukum yang berdasarkan surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) tentang kepemilikan tanah tersebut dan Instruksi Gubernur tentang penertiban. Kedua, upaya meningkatkan keamanan dan kemampuan pengelolaan Terminal Peti Kemas Koja sesuai kode international ship and port facility security.
Meskipun demikian, tampaknya kurang mereka pahami bahwa kawasan sekitar lima hektar tersebut bukan sekadar bernilai komersial, melainkan juga akar identitas yang bagi sebagian orang adalah hal amat pokok.
Tragedi Priok, sebutlah begitu, yang menewaskan tiga orang dan melukai ratusan orang tersebut mengingatkan saya pada tulisan Thomas L Friedman dalam The Lexus and the Olive Tree. Ia menunjukkan betapa persoalan lampau tentang perbaikan materi serta identitas pribadi dan komunal memiliki peran tersendiri dalam sistem globalisasi yang dominan saat ini (1999:25-37).
Friedman melihat, dunia kontemporer berada dalam suatu tegangan antara masa depan (disimbolkan oleh Lexus) dan masa lalu (disimbolkan oleh pohon zaitun). Pohon zaitun mewakili akar kita, jangkar kita, identitas kita, dan tempat kita di dunia. Kita berulang-ulang mempertengkarkan pohon zaitun karena pohon itu menandakan harga diri dan rasa memiliki sebagai hal esensial keberadaan manusia. Lexus mencerminkan hasrat kesejahteraan, kemakmuran, dan modernisasi yang, antara lain, menjadi daya dorong sistem globalisasi saat ini.
Pada pengembangan kawasan Terminal Peti Kemas Koja di bawah pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT), kita tahu bahwa salah satu lalu lintas ekspor impor tersibuk di Indonesia saat ini terjadi di sana. Terhambatnya arus ekspor impor akibat bentrokan pada Rabu lalu saja diperkirakan menimbulkan kerugian ratusan miliar rupiah (Kompas, 15/4).


Kebutuhan internasional
Integrasi Indonesia dengan pasar global telah menumbuhkan kepentingan untuk mengembangkan pengelolaan terminal tersebut sesuai standar internasional tentang pengamanan kapal dan fasilitas pelabuhan. Jika tidak, ada kekhawatiran bahwa kapal berbendera Indonesia akan ditolak di pelabuhan luar negeri dan pelabuhan di Indonesia tidak akan dimasuki kapal luar negeri. Jadi, apakah pengembangan pelabuhan ini merupakan suatu kebutuhan? Hampir pasti ya.
Friedman menyebut bahwa kita tidak mungkin mampu berkembang tanpa tersambung dengan sistem global. Kita juga tidak akan mampu bertahan tanpa sistem operasi yang sesuai untuk mendapatkan manfaat globalisasi dan terlindung dari dampak buruknya. Pengamanan maritim, pencegahan dan peraturan tegas untuk menghindari gangguan terhadap pelayaran dan perdagangan internasional adalah bagian sistem operasi tersebut.
Tanpa sistem operasi, Pelabuhan Tanjung Priok suatu saat nanti barangkali hanya menjadi kawasan cagar budaya untuk mengingat betapa nenek moyang kita mahir melaut dan berdagang. Maka, rencana penataan ulang untuk memperlancar akses dari dan ke pelabuhan serta untuk meningkatkan keamanan pelabuhan adalah masuk akal.
Sekarang kita timbang pandangan warga dan ahli waris yang memiliki ikatan dengan makam Mbah Priuk di kawasan Terminal Peti Kemas Koja.
Mbah Priuk yang dikenal dengan nama Al Imam Al’Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad disebut berlayar dari Palembang menuju Batavia tahun 1700-an untuk menyebarkan ajaran Islam.
Diserang armada Belanda dan diterjang ombak, demikian kisah tersebut, kapal Habib terbalik hingga dia terseret ke suatu semenanjung dengan periuk dan dayung teronggok di samping jenazahnya. Kisah tentang periuk tersebut diyakini menjadi cikal sebutan Priok. Hingga kini makam Mbah Priuk masih ramai diziarahi orang.
Dapat dipahami, kisah Mbah Priuk dan makamnya adalah tambatan identitas bagi sebagian kalangan. Namun, tidak mudah memahami bahwa identitas merupakan sesuatu yang pokok bagi keberadaan manusia.
Amartya Sen dalam Identity and Violence bahkan mengeluhkan betapa sebagian kepustakaan tentang analisis sosial dan ekonomi melakukan reduksi dengan mengabaikan identitas. Pengabaian tersebut mewujud dalam langkah menihilkan pengaruh rasa identitas sebagai nilai yang dipandang penting dan memengaruhi perilaku orang.
Sen (2007:27) menyayangkan bahwa banyak teori ekonomi kontemporer mengandaikan bahwa dalam menentukan arah, tujuan, dan prioritas, orang seolah tidak dipengaruhi oleh identitas dirinya bersama orang lain.
Dalam beberapa hal, upaya ”penertiban” oleh Satpol PP dan polisi terhadap makam Mbah Priuk mengabaikan nilai penting identitas yang, antara lain, bersumber dari keterikatan sebagian kalangan terhadap Mbah Priuk.
Bagaimanapun, kepentingan untuk menyesuaikan diri dengan sistem ekonomi global tidak harus berbenturan dengan pemeliharaan identitas.
Perlu keseimbangan
Pandangan tengah Friedman menegaskan bahwa tantangan era globalisasi adalah bagaimana menemukan keseimbangan antara memelihara rasa identitas dan melakukan apa yang diperlukan untuk bertahan dalam globalisasi (1999:35). Tantangan itulah yang dihadapi pada gesekan kepentingan di Priok.
Ketika menjelaskan transisi menuju globalisasi, Friedman mengkhawatirkan ”globalisasi prematur”. Maksudnya adalah negara-negara yang bersiap dengan perangkat keras pasar bebas, tetapi melupakan perangkat lunak untuk mengelola dan mengalokasikan modal dan energi. Saya pikir proses tersebut bukan semata membutuhkan perangkat lunak untuk mengefektifkan kinerja, melainkan untuk mengakomodasi aspek-aspek nonmateri pada diri manusia, di mana identitas termasuk di dalamnya.
Penegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar pemerintah provinsi ataupun kabupaten ”memilih cara atau pendekatan yang baik dalam penertiban meski secara hukum benar” layak diapresiasi. Pendekatan semacam itu akan menambahkan dimensi nonmateri sebagai pertimbangan dalam tatanan ekonomi yang berkeadilan.
Melalui Development as Freedom, Sen (1999:74) menekankan bahwa kebijakan pembangunan sepatutnya tidak semata menimbang peningkatan pendapatan, melainkan berfokus pada pemenuhan kebebasan substantif, yaitu menghargai kapabilitas memilih suatu bentuk kehidupan. Konsekuensinya, perluasan kebebasan substantif bukan hanya memberi tempat bagi upaya integrasi ekonomi nasional dalam tatanan global, tetapi juga membuka peluang menjalani suatu bentuk kehidupan. Priok adalah tegangan antara Lexus dan pohon zaitun bagi kita.
ARIF SUSANTO Aktif di Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian Universitas Al-Azhar Indonesia

Opini Kompas 17 April 2010