Mengelola Politik Karisma



Demokrasi politik meniscayakan karisma dan hingga kini kita masih menyimak banyak fenomenanya. Di Indonesia, misalnya, tak hanya Megawati Soekarnoputri yang mempertegas posisinya sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, tetapi juga Susilo Bambang Yudhoyono yang restunya diyakini sangat menentukan siapa pucuk pimpinan Partai Demokrat.
Di Thailand, demonstran ”Kaus Merah” yang menggegerkan pentas politik yang demikian masif tak lepas dari efek karisma mantan PM Thaksin Shinawatra. Di AS pun, hadirnya Barack Obama sebagai presiden juga tak dapat dielakkan dari karisma.
Dalam khazanah sosiologi politik, Max Weber pernah menjelaskan adanya otoritas karismatis, yang terkait dengan persepsi adanya individu yang memiliki karakter pribadi dan ”kesucian” luar biasa, heroik, serta berdimensi kewahyuan. Otoritas karismatis ini bersifat familial dan ”keagamaan” (religious). Otoritas tradisional bersifat patriarkal, patrimonial, dan feodal. Otoritas legal lebih terkait pada aspek hukum dan kenegaraan modern dan bersifat birokratis.


Dalam konteks kekuatan karismatis, Joseph Nye mencatatnya sebagai ”the special power of a person to inspire fascination and loyalty”. Dalam tulisannya The Mystery of Political Charisma (Wall Street Journal, 6/5/2008), Nye mengulas hal-hal yang dikaitkan dengan fenomena politik karisma, khususnya atas Obama. Apakah karisma tumbuh dari individu, para pengikut (followers), atau di dalam situasi tertentu? Nye melihat karisma Obama terletak pada pengikutnya, yang terbimbing dalam menentukan calon yang tepat, justru sebagai cermin kebutuhan mereka ketika suasana negara yang menghendaki perubahan.
Para ilmuwan politik telah mencoba mengukur skala karisma, misalnya dalam menentukan peringkat kandidat presiden. Dalam proses kuantifikasi tokoh ini, karisma ternyata bukan untuk semua orang dan bersifat fluktuatif. John F Kennedy yang sering dianggap karismatis, misalnya, gagal meraup mayoritas popular vote pada pemilu presiden 1960, peringkat popularitasnya pun fluktuatif selama menjadi presiden. Obama sekarang juga demikian. Rating popularitasnya fluktuatif, apalagi ketika beberapa kebijakan tidak populer ditempuh. Jelas, di sini karisma tak sekadar ”the mandate of heaven”. Karisma akan selalu diuji.
Apa yang di Indonesia dikenal dengan julukan ”Ratu Adil” yang mesianistis tetap akan ada batasnya, justru ketika suatu saat disimpulkan akan tidak ada pemimpin yang mumpuni. Jatuh bangunnya pemimpin yang ironis, setidaknya mencatatkan hal itu.
Adakalanya, karisma itu situasional dan kontekstual. Nye mencontohkan Winston Churchill. Pada 1939, Churchill sangat karismatis karena sepak terjangnya yang memukau dan membangkitkan rakyat Inggris di masa Perang Dunia II. Namun, pasca-1945, ketika masyarakat berbalik dari memenangkan perang untuk membangun negara kesejahteraan, karisma Churchill menurun dan harus pensiun dari politik. Apa yang diilustrasikan oleh Nye memberi pesan bahwa semua politisi butuh karisma, tetapi persoalannya apakah ia mampu mengelola dan menggunakannya untuk memprediksi diri sebagai pemimpin sukses.
Kecerdasan pemimpin
Kita tidak dapat menyalahkan ”karisma” dalam politik. Harus kita akui, dalam masyarakat modern pun, hadirnya persepsi politik yang bahkan bertipe ”pejah-gesang” pun masih sangat dimungkinkan. Dalam konteks Indonesia dan Asia Tenggara, bahkan Asia, yang memiliki sejarah dan tradisi feodalistis yang panjang, psiko-politik irasional-karismatik masih terasakan. Politik dinasti masih suka mengejewantah dalam berbagai bentuknya, tak hanya di level nasional, tetapi juga di sejumlah daerah, seiring dengan adanya pemilihan kepala daerah langsung.
Manakala pola politik karisma mengarah pada ketidakcerdasan, tentu sangat disayangkan. Yang terpilih semestinya tak berhenti sebatas menjadi elite, harus menjadi pemimpin (leader). Dalam masyarakat yang semakin rasional, manakala pemimpin karismatis gagal, masyarakat akan mencari sosok-sosok baru.
Citra karismatis dibutuhkan, mulai dari politisi yang kelasnya baru dalam tahap memperkenalkan diri (dikenal), naik kelas ke disukai, hingga ke level didukung. Setelah kekuasaan politik diraih berkat citra karismatis, karismanya akan terus diuji. Akan tetapi, pemimpin sejati (autentik) tidak khawatir akan karismanya. Ia bekerja sesuai keyakinan dan visi. Kalau dukungan mengalir kepadanya, ia akan tetap rasional, tak manipulatif, apalagi menikmatinya sebagai sosok mitologis.
M Alfan Alfian Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Opini Kompas 15 April 2010