Budaya dan Karakter Bangsa



JIKA kita menapaki Hopkins Memorial Steps di Massachusetts terbaca jelas inkripsi yang puitis: Climb high / Climb far / Your goal the sky / Your aim the star.

Mendidik adalah menyentuh masa depan. Manusia bisa meraih lebih dari sekadar sepanjang tangannya. Tatkala Aristoteles ditanya apa bedanya orang yang terdidik dengan orang yang tidak berpendidikan, jawabannya amat menyengat: ‘’Sama saja membandingkan orang hidup dengan orang mati’’.

Francis Bacon, filsuf Inggris pernah menyatakan bahwa knowledge is power. Tidak ada batas usia untuk belajar, menimba ilmu, menambah pengetahuan. Makin banyak kita belajar, semakin sadar kita akan banyaknya rahasia alam yang belum terungkap. Apa yang sudah kita ketahui bisa diibaratkan beberapa butir pasir di pantai yang luas.


Dengan pengetahuan terbatas, merasa tahu segalanya sedangkan sesungguhnya hanya tahu sedikit, seseorang bisa merusak kehidupan manusia dan planet Bumi ini.
Tugas guru dan dosen sebagai pendidik adalah tugas yang mulia, bermartabat. Ketika Hiroshima dan Nagasaki hancur luluh tertimpa bom, pertanyaan Kaisar Jepang yang pertama-tama adalah,’’Masih adakah guru-guru yang selamat?’’

Dalam pidato pengukuhan gelar doktor (HC) di Universitas Indonesia tahun 1977, Roosseno mengatakan,’’Kami yakin kadar intelektualitas bangsa Indonesia cukup baik. Yang perlu ialah ketekunan dan kesempatan. Di samping itu saya ingin menganjurkan apa yang disebut dalam bahasa Belanda dengan istilah morcele herbewapening atau kesiapsiagaan moral’’.
Pendidikan Budaya Mengenai pendidikan budaya, kiranya perlu diingat bahwa menurut Koentjaraningrat budaya menyangkut tiga lapisan. Lapisan terdalam sebagai intinya adalah norma dan tata nilai. Lapisan kedua adalah perilaku, adat-istiadat, tata cara, ritual. Lapisan terluar adalah artefak fisik yang paling kasat-mata seperti seni tari, seni lukis, seni drama, seni patung, arsitektur.

Dewasa ini nampaknya perhatian terlalu tercurah pada budaya lapis terluar yang memang cukup menjanjikan dan bisa menghasilkan keuntungan finansial. Yang menyangkut norma, tata nilai, adat, kesantunan, keadaban, dan budi pekerti, nyaris terlupakan.

Manusia adalah mahluk budaya yang selalu berkiprah memberi makna kepada kehidupan, mengembangkan kemanusiaan, dan menumbuhkan rasa atau kesadaran akan identitas atau jati diri. Indonesia adalah negara yang plural, jamak, memberagam, dan sasra budaya atau multikultur. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu) dan Tan Hana Dharma Mangrwa (Tak Ada Kebenaran yang Mendua) mesti tetap dipegang teguh dalam setiap pengambilan kebijakan dan perumusan program atau rencana. Kata Bung Karno,’’Tamansari dengan aneka bunga lebih indah daripada hutan dengan satu jenis pohon’’.

Jadi pendidikan budaya di Indonesia mesti mengakui, menghormati, dan mengembangkan keragaman yang merupakan mosaik indah itu. Jangan diseragamkan. Dalam bidang arsitektur, misalnya, di Jawa terdapat kearifan budaya lokal berupa Petungan dan Kawruh Kalang. Wujud bangunannya bervariasi mulai dari panggang pe, kampung, limasan, sampai joglo.

Di Bali masih dianut kaidah desa-kala-patra (tempat-lokasi-waktu), Tri Hita Karana, Hasta Kosala Kosali. Di Lombok ada ketentuan tentang Awig-Awig, Sasi Taun. Di Toraja atap rumah tradisionalnya juga tidak kalah unik, diberi nama tongkonan. Di Padang terdapat rumah gadang dengan atap bagonjong.

Kearifan-kearifan lokal, budaya setempat, pola-pola tradisional yang masih dianut oleh masyarakat adat, jangan sampai punah akibat terpaan Globalisasi yang cenderung menciptakan cultural homogenization, Manhattanization, atau McDonaldization. Berbagai negara berkembang pun sudah mulai melakukan gerakan counter culture yang lazim disebut dengan glocalization atau globalization with local flavour.

Para guru dan dosen berperan sebagai pengawal peradaban. Jangan sampai para murid atau mahasiswa Indonesia mengidap rasa inferior, rendah diri, atau minderwaardig complex menghadapi masyarakat negara maju.

Kita semua juga mesti mengubah mindset kita dari semula introvert menjadi extrovert. Kita tunjukkan ke dunia luar kekayaan budaya milik kita. Jangan sampai terulang lagi kisah reog Ponorogo, angklung, lagu ‘’Rasa Sayange’’, tari pendet, dan lain-lain, yang diklaim menjadi milik Malaysia. Begitu pentingnya pendidikan karakter, sampai-sampai ada yang menulis puisi singkat:

‘’Ketika kekayaan hilang, tak ada yang hilang Ketika kesehatan hilang, sesuatu yang hilang Ketika karakter hilang, semuanya hilang’’ Kisah tragis komedis tentang miliarder Gayus Tambunan dan Bahasyim menyiratkan tentang hilangnya karakter akibat mental dan moral yang tidak terpuji.

Tidak heran bila penilaian tentang keberhasilan seseorang tidak hanya diukur dengan intelligence quotient (IQ) melainkan ditambah dengan emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ). Pendidikan karakter memang dimaksudkan untuk menghasilkan manusia yang tidak sekadar pandai, cerdas, berotak cemerlang, profesional, namun juga memiliki nurani, empati, rasa, dan kepedulian.(10)

— Prof Ir Eko Budihardjo MSc, Ketua Badan Penyantun Dewan Kesenian Jawa Tengah, Ketua Pembina YPSDM Forum Rektor Indonesia

Wacana Suara Merdeka 15 April 2010