Proses Teaching with Love



PALING tidak kita mempunyai dua pengalaman dalam mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa, yaitu masa rezim Soekarno dan di masa rezim Soeharto. Pada masa demokrasi terpimpin dan pada era demokrasi Pancasila. Yang pertama dikenal dengan cara program santiaji dalam rangka nation and character building, atau membangun karakter bangsa, dan yang kedua dilaksanakan lewat program penataran P4, yang berisi pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila.

Keduanya dilaksanakan lewat jalur pendidikan formal dalam kerangka kurikulum sekolah, ataupun dalam jalur pendidikan nonformal atau luar sekolah.


Pengalaman menunjukkan bahwa kedua program itu berhasil mencetak anak bangsa dengan karakter yang monolitik, karena keduanya dilakukan dengan pendekatan satu pihak dan drilling. Itu semua bertentangan dengan pengertian dan pendekatan pendidikan. Kita tahu pendidikan merupakan proses membantu peserta didik dalam mencapai kedewasaan, fisik, mental, ataupun sosial. Semuanya dilakukan dengan pendekatan kasih sayang. Namanya teaching with love. Nama lain adalah pendidikan budaya atau cultural learning.

Pendidikan budaya (cultural learning) bukan berarti pendidikan ilmu kebudayaan, untuk menjadi ahli kebudayaan. Tidak juga untuk menjadi budayawan. Yang dimaksud adalah pengembangan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang mendasarkan pada kekayaan nilai objektif dan selektif ataupun idealisme bangsa.

Sehubungan dengan perkembangan zaman dan kemajuan iptek di era informasi yang serbacepat berubah, karakter bangsa harus mampu mengantisipasi semua perubahan yang bakal terjadi. Karakter itu harus menjadi mentalitas serbaunggul, seperti demokratis, keterbukaan, berorientasi ke depan meski tidak tercerabut dari nilai luhur bangsa, menghargai keluhuran nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.

Dalam bahasa lain, itulah nilai-nilai Pancasila yang utuh.Itu sebabnya kebudayaan harus diartikan sebagai semangat, tradisi, moralitas, tata nilai ataupun idealisme bangsa. Semua kualitas nilai itu bukan sekadar diinformasikan, melainkan dihayati dan diamalkan sepanjang masa dalam semua aspek kehidupan. Itu semua berlangsung melalui proses budaya.

Konsep tripusat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara sangat tepat untuk digunakan sebagai pendekatan proses pendidikan. Yaitu lewat keluarga, lembaga sekolah, dan kelembagaan sosial, yang disinergikan dalam suatu koordinasi yang demokratis. Secara simultan semua nilai ideal bangsa dan selektif itu dikomunikasikan lewat ketiga lembaga tadi.
Dikomunikasikan Nilai ataupun mentalitas tidak bisa diajarkan, demikian kata Bung Karno mengutip sebuah tulisan di sebuah universitas di Meksiko.

Nilai ataupun mentalitas bangsa hanya bisa dikomunikasikan lewat komunikasi sosial atau lewat proses budaya. Itu berarti nilai ataupun mentalitas ideal itu harus sudah dihayati dan diamalkan oleh seluruh generasi tua, dan kemudian dikomunikasikan kepada generasi baru lewat pergaulan sosial budaya. Tanpa ada pemaksaan, tanpa ada arogansi pada generasi tua. Dan tanpa ada kemunafikan.

Karenanya tidak boleh terjadi adanya disonansi kognitif dalam diri generasi muda. Artinya tidak boleh terjadi peserta didik dibuat bingung karena apa yang diajarkan di sekolah bertentangan dengan apa yang disaksikan setiap hari dalam kehidupan orang dewasa dalam masyarakat. Ini yang disebut disonansi kognitif. Yang mengakibatkan makin jauhnya tata nilai ideal dihayati generasi muda.

Sebaliknya generasi tua harus dengan tulus hati mengomunikasikan seluruh tata nilai ideal bangsanya, seluruh nilai luhur dan mentalitas bangsanya dengan seluruh kejujurannya, dengan seluruh integritas dirinya dikomunikasikan kepada generasi muda. Dengan cara demikian proses pendidikan dengan sepenuh hatinya atau teaching with love terjadi.

Paling tidak ada tiga paradigma pendidikan yang kita ketahui. Pertama bahwa pendidikan adalah proses mentransmisikan budaya. Ini bersama dengan proses pelestarian budaya. Yang diajarkan adalah semua tata nilai yang dianut generasi tua. Itu yang terjadi dalam masyarakat bangsa berkembang. Kedua, pendidikan adalah proses mentransformasikan budaya.

Ini berarti tujuan pendidikan adalah bersifat antisipatoris. Generasi muda selalu diarahkan untuk menangani kondisi masyarakat di masa depan yang dicita-citakan. Ini merupakan kebijakan pendidikan dalam masyarakat sosialis yang selalu membuat perencanaan pendidikan secara bertahap.

Paradigma ketiga adalah bahwa pendidikan merupakan proses di mana setiap generasi muda bisa memilih arah bagi pengembangan diri. Ini dikembangkan dalam masyarakat liberal. Nampaknya sesuai dengan fungsi maupun tujuan pendidikan yang tertuang dalam Pasal 3 UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 sesuai dengan gabungan ketiga paradigma pendidikan tersebut. Coba perhatikan berikut ini.

Fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan, membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Sedangkan tujuannya adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. Juga mengembangkan potensi generasi muda menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Memiliki berbagai kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual ataupun kecerdasan kinestetika.(10)

— Abu Su’ud, guru besar emiritus Unnes dan guru besar IKIP PGRI Semarang

 Wacana Suara Merdeka 15 April 2010