Dari Cina Benteng ke Mbah Priuk



Saat tulisan ini dibuat (pukul 07.00, 15 April 2010), kerusuhan di Tanjung Priok masih berlangsung. Sudah 24 jam sejak dimulai pada Rabu (14/4) selepas subuh. Korban di pihak Satpol PP bertambah terus. Dari satu kemarin pagi kemudian menjadi tiga siang harinya dan tadi, saya monitor di TV, katanya sudah bertambah dua lagi. Plus puluhan yang terluka. Plus tujuh (atau lebih) kendaraan petugas dibakar massa. Korban lebih banyak di pihak petugas.
Semua itu demi memperebutkan sebuah makam keramat Mbah Priuk yang di mata masyarakat adalah makam Habib Hasan bin Muhamad al Hadad, seorang suci, penyiar Islam pertama di Betawi, yang sudah dimakamkan di sana sejak tahun 1756. Jadi, sudah sejak 244 tahun yang lalu. Namun, di mata pemerintah, kawasan kuburan itu hanyalah sebidang tanah yang masuk hak milik PT Pelindo dan berdasarkan undang-undang serta perda tertentu sah-sah saja untuk sewaktu-waktu digusur demi pembangunan. Maka, terjadilah tawuran yang tragis itu.


Namun, tak kalah tragisnya, sehari sebelumnya, di Tangerang, permukiman Cina Benteng juga digusur paksa oleh Satpol PP. Alasan pemerintah daerah (pemda) memang masuk akal. Permukiman mereka liar dan menghalangi program pelebaran Sungai Cisadane yang penting guna mengurangi banjir. Sebetulnya para penghuni juga memahami alasan pemda dan mengakui bahwa mereka menghuni secara liar karena itu mereka mau saja pindah asalkan diatur pindahnya ke mana atau diberi ganti rugi yang layak.
Akan tetapi, wali kota bersikukuh bahwa berdasarkan perda nomor sekian-sekian dan instruksi gubernur nomor sekian-sekian permukiman harus digusur. Tidak ada ganti rugi karena tidak tersedia dana dalam APBD. Maka, demi hukum, Cina Benteng harus pergi; kalau perlu, dengan paksa.

Museum hidup
Tentu saja dengan mudah komunitas Cina Benteng bisa diusir begitu saja oleh pemda dan tidak akan jatuh korban di pihak Satpol PP karena mereka minoritas baik dalam pengertian jumlah maupun dalam pengertian ras, agama, dan kepercayaan.
Namun, dengan terusirnya mereka, akan punahlah satu cagar budaya yang sudah ada di tepi Sungai Cisadane sejak tahun 1700-an. Mereka adalah cikal bakal kota Tangerang yang membangun permukimannya di sepanjang Benteng VOC yang ketika itu berada di sepanjang Sungai Cisadane (karena itulah mereka dinamakan Cina Benteng). Karena imigran-imigran Tionghoa ketika itu semuanya laki-laki, maka mereka kawin dengan perempuan-perempuan lokal sehingga menghasilkan keturunan Tionghoa yang berkulit gelap, tidak berbahasa Tionghoa, tetapi masih sangat memuja kepercayaan tradisional mereka (hio, tepekong, capgomeh) walaupun busana dan seni musik mereka bukan Tionghoa, tetapi juga bukan pribumi. Karena mereka bernenek moyang buruh-buruh kasar, sampai hari ini pun profesi mereka tidak jauh-jauh dari buruh lepas, tukang ojek, atau tukang cuci.
Dengan demikian, dari kacamata budaya, komunitas Cina Benteng ini adalah museum hidup, yang melestarikan dirinya sendiri tanpa dana serupiah pun dari pemerintah. Bahkan, sering kali mereka justru jadi korban penindasan penguasa, termasuk dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740. Maka, kalau dikehendaki, dengan sedikit investasi saja, dinas pariwisata daerah bisa memanfaatkan museum hidup Cina Benteng ini menjadi daerah tujuan wisata yang hasilnya pasti akan meningkatkan pendapatan asli daerah Tengerang. Inilah yang dalam ilmu resolusi konflik disebut win-win solution.
Ketakpekaan sosial pemda
 Namun, ada satu hal yang sangat memprihatinkan saya setelah menyimak kasus Cina Benteng dan Mbah Priuk serta kasus-kasus sebelumnya tentang bagaimana caranya pemda-pemda menggusur penghuni dan lapak liar. Hal itu adalah ketidakpekaan sosial para pejabat pemda (wali kota/bupati dan DPRD). Mereka pikir, karena Indonesia adalah negara hukum, kalau sudah ada hukumnya, semuanya bisa dibereskan dengan hukum itu.
Pandangan seperti ini sangat keliru. Hukum tidak datang dari langit, melainkan bersumber dan bermuara pada masyarakat. Ketika hukum dipraktikkan di masyarakat dia akan langsung berhadapan dengan nilai-nilai, adat, kebiasaan, agama, kepercayaan, keyakinan, dan etika masyarakat setempat. Ini tidak bisa dipandang enteng dan harus dipertimbangkan baik-baik kalau kita ingin semuanya berlangsung dengan baik. Untuk melaksanakan gusur-menggusur dengan baik tanpa kekerasan, terlebih lagi tanpa korban, bukannya tidak mungkin. Kota Solo adalah salah satu yang telah mempraktikkannya.
Sejak Jokowi-Rudy menjadi wali kota dan wakil, di Solo tidak pernah ada lagi kekerasan dalam rangka penggusuran, tetapi pembangunan jalan terus. Pedagang liar kaki lima dan pasar dipindahkan dengan kirab pasukan pengawal keraton lengkap dengan pusaka-pusakanya. Pak Wali dan Pak Wakil, dengan berpakaian adat, berkuda di barisan paling depan dan diliput oleh media massa nasional dan internasional. Di tempat baru pun sudah tersedia prasarana baru dengan fasilitas sangat baik, uang sewa sangat ringan, bebas pajak-pajak tertentu, dan trayek kendaraan umum sudah disalurkan ke lokasi baru itu.
Win-win solution lagi. Rahasianya sederhana saja, yaitu pertimbangkan faktor sosial budaya dulu, baru praktik hukumnya disesuaikan, bukan sebaliknya. Memang hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Namun, jangan lupa, pada manusia selalu ada bulu-bulu yang tidak boleh dipandang.
Sarlito W Sarwono Guru Besar Psikologi, Ketua Program Studi Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia

Opini Kompas 16 April 2010