Miras dan Gejala Eskapisme Semu



’’PESTA Miras, Tiga Orang Tewas’’, demikian judul berita harian ini (SM, 04/04/10).  Sedikitnya tiga nyawa warga Brebes melayang setelah mereka pesta minuman keras (miras) oplosan. 

Angka tersebut menambah panjang deretan jumlah korban jiwa sia-sia akibat me-ngonsumsi miras oplosan. Menurut catatan penulis, selama setahun terakhir miras oplosan merenggut sedikitnya 100 nyawa di seluruh wilayah Tanah Air. 

Diawali dari Kota Banjar dan Kabupaten Indramayu (Jawa Barat), Kota Semarang dan Kota Tegal (Jawa Tengah), Kabupaten Sanglah (Bali), Manokwari (Papua), tewasnya 9 warga Yogyakarta usai pesta miras oplosan jenis lapen Februari 2010, tewasnya empat orang warga Cengkareng, Jakarta akhir Maret 2010, hingga kejadian terakhir yang menewaskan tiga warga Brebes tersebut.


Meski belum didukung data empiris penelitian, banyaknya korban miras beberapa waktu terakhir ini menunjukkan makin meningkatnya gejala eskapisme: cara melarikan diri dari tekanan masalah secara semu.

Fenomena ini dipicu oleh tekanan ekonomi yang mengHimpit dan menjadi beban hidup warga, antara lain akibat melambungnya harga kebutuhan pokok sehari-hari yang mengakibatkan daya beli masyarakat jatuh pada titik terendah.

Henri Josserand dari Global Information and Early Warning System Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengingatkan bahwa inflasi yang diakibatkan oleh melambungnya harga bahan pangan merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin.  Hal itu mengingat pengeluaran untuk pangan dari warga kelas menengah ke bawah menempati persentase terbesar dari total pengeluaran keluarga.

Fenomena eskapisme ini merupakan bentuk frustrasi negatif yang sangat merugikan pribadi seseorang. Penyelesaian frustrasi mengandung usaha untuk meredusasi ketegangan-ketegangan yang ada.

Melalui miras, untuk sementara waktu ketegangan-ketegangan dapat dikurangi, meski hanya bersifat semu. Tetapi susbstansi permasalahan sendiri belum terpecahkan, hanya mengalami penundaan sementara waktu (Kartini Kartono, 2005: 313-314)
Bahasa Pergaulan Miras telah menjadi persoalan yang sangat kompleks bagi pemerintah daerah, khususnya bagi beberapa kabupaten/kota di wilayah pesisir. Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki kultur lebih permisif terhadap peredaran miras. 

Rasanya tak lengkap jika warga yang begadang pada suatu pesta tidak menenggak miras. Kehadiran miras sepertinya menjadi bahasa pergaulan, seperti rokok. Bagi telinga sebagian warga Kota Tegal, Brebes, dan sekitarnya, ucapan dudu batir angger belih nginung (bukan sahabat jika tidak minum miras) menjadi ungkapan jamak terdengar.

Keinginan untuk membatasi dan mengawasi peredaran miras yang lebih ketat bukannya tidak ada.  Beberapa daerah telah memiliki perda yang mengatur peredaran dan tata niaga miras. Namun perda-perda tersebut hanya seperti macan kertas, mandul dalam tataran implementasi.

Nasib perda miras Pemkot Tegal Nomor 5 Tahun 2007 bahkan kandas di tengah jalan karena dianggap bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi.  Di antaranya Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, serta Permendag Nomor 15/M-Dag/Per/3/2006 tentang Pengawasan dan Pengendalian Impor, Pengedaran, Penjualan, dan Perizinan Minuman Beralkohol.  Hingga tragedi memilukan tewasnya 22 warga Kota Tegal usai pesta miras oplosan pertengahan April 2009, nasib produk hukum tersebut tak jelas lagi riwayatnya hingga kini.

Upaya menanggulangi dampak negatif miras harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan.  Bukan upaya yang hangat-hangat tahi ayam, setiap kali muncul kasus semua pihak seperti orang kebakaran jenggot, setelah itu kasusnya masuk peti es, untuk kemudian heboh lagi setelah terjadi kasus berikutnya.

Penanggulangan penyakit masyarakat ini bukan hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum melainkan masyarakat juga harus ikut bertanggung jawab.  Tokoh masyarakat, alim ulama, pendidik dan akademisi, dituntut perannya dalam memberikan pencerahan.

Banyaknya korban tewas karena miras oplosan juga menjadi indikasi minimnya pengetahuan masyarakat terhadap bahaya mengonsumsi minuman itu. Sungguh, sangat sulit diterima akal sehat jika ada orang yang secara sadar mau minum minuman berkadar alkohol 99 %, kecuali jika motifnya ingin bunuh diri.  Alkohol teknis yang biasa dipakai di laboratorium saja, kadar alkoholnya hanya 70%.

Tak ada lagi alasan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bersikap masa bodoh terhadap persoalan ini.  Harus ada pihak-pihak yang tak bosan memberikan pencerahan tentang bahaya miras bagi keselamatan jiwa. (10)

— Toto Subandriyo, pemerhati masalah sosial, bergiat di Lembaga Nalar Terapan Tegal

Wacana Suara Merdeka 16 April 2010