Priok, Spiral Kekerasan Sosial



TRAGEDI Priok kembali terulang meskipun berbeda dari tahun 1984 yang merupakan buah konflik antarelemen masyarakat sipil yang berhadapan dengan kekuatan represif negara dalam kondisi politik otoriter. Tragedi Priok 14 April 2010 melibatkan masyarakat yang berhadapan dengan aparatur penegak hukum sipil, Satpol PP.

Bentrokan berdarah  yang disulut rencana pembongkaran makam tokoh karismatik Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau Mbah Priok  itu menyebabkan seorang tewas dan sedikitnya 134 orang luka-luka (SM, 15/04/10).


Tragedi Priok II tersebut benar-benar peristiwa yang memilukan dan sekaligus memalukan. Memilukan karena kericuhan sosial (social riots) terjadi akibat ego arogansi aparatur penegak sipil Satpol PP yang lebih mengedepankan pendekatan represi dibanding komunikasi persuasi. Bentrokan antara personel Satpol PP dan warga pembela situs Mbak Priok yang di-back up ormas sosial keagamaan yang memiliki ikatan emosional kultural itu menjadi fokus keprihatinan skala nasional.

Yang menyedihkan, setelah terjadi bentrokan muncul berbagai perang opini dan ‘’argumen” yang justru tidak menjadi penyejuk realitas konflik. Wagub DKI Jakarta Prijanto misalnya, mengatakan ada provokator dan ormas yang mendorong warga melawan upaya penertiban makam tersebut. Sementara arus opini mayoritas menyebutkan tindakan personel Satpol PP melanggar prinsip HAM, tidak bijak, dan jauh dari watak humanis.

Dalam perspektif teori transformasi konflik, tragedi tersebut  bisa dianalisis dalam berbagai paradigma pemikiran: Pertama, tragedi tersebut adalah bagian dari spiral kekerasan sosial yang telah melembaga dalam kultur penegakan hukum dan kuasa aparatur negara. Spiral kekerasan yang mengkontaminasi perilaku balasan dari masyarakat yang selama ini menjadi objek kekerasan personel Satpol PP.

Lugas dan Keras

Secara sosiologis warga Priok adalah masyarakat pantai yang memiliki karakter sosial yang lugas dan keras. Ketika menerima praktik kekerasan maka mereka justru akan bangkit dalam tindakan yang sama.

Kedua, tragedi itu merupakan mata rantai struktur paralel kekerasan yang lazim terjadi dalam implementasi dari domain penegakan aturan daerah dan ketertiban umum. Berbeda dari kekerasan terhadap elemen masyarakat yang tidak terorganisasi semacam PKL tidak resmi, pengamen, pemukim liar komunitas di Priok terorganisasi dalam kultur keagamaan militan. Para aktor yang melawan arogansi Satpol PP adalah komunitas ‘’santri” yang selama ini beraktivitas ritual-religi di lingkungan makam Mbah Priok. Mereka terusik kehormatan spiritualnya oleh rencana penggusuran makam figur yang mereka hormati.

Ketiga, social riots tersebut adalah bukti kegagalan negara dalam merombak karakter psikologis aparaturnya dalam alam demokrasi. Institusi Satpol PP di era demokrasi yang seharusnya lebih bisa memainkan peran sebagai penegak aturan sekaligus sebagai alat komunikasi masyarakat, menempatkan diri sebagai kekuatan antirakyat.

Selama ini memang ada keprihatinan atas apa yang sering dilakukan oleh ”polisi perda” di banyak tempat. Terutama ketika mereka berhadapan dengan masyarakat sipil. Satpol PP alih-alih memainkan peran mediasi, negoisasi prakonflik untuk menjelaskan tugas dan tujuan penertiban. Yang terjadi peran eksekutor yang lebih dikedepankan.

Ada beberapa instrospeksi yang bisa dipetik dari kejadian dari tragedi Priok II. Pertama; sudah waktunya ada perubahan kultur kekerasan yang lazim dilakukan aparatur penegak hukum ketika bersinggungan dengan aspirasi serta kepentingan masyarakat. Kultur kekerasan hanya akan beranak-pinak praktik kekerasan yang sama, bahkan mungkin lebih keras. Perlu ada ruang edukasi transformasi konflik di jajaran penegak hukum agar mereka bisa memahami anatomi konflik sehingga tidak terjebak menjadi aktor penyulut konflik laten-manifes.

Kedua; menagih keseriusan pemerintah pusat-daerah untuk ‘’tidak asal’’ mementingkan syahwat ekonomi dan mengabaikan niat baik konservasi cagar budaya. Kasus itu tidak terjadi bila pemerintah daerah menghormati kawasan situs budaya. Makam Mbah Priok bagaimana pun adalah penanda peradaban Jakarta. Ketiga; perlunya kesadaran bersama antara komponen ”pemilik” kepentingan terhadap cagar budaya yang memiliki ikatan religio-sosial, dengan pemerintah untuk dalam satu pemahaman mengedepankan dialog yang mutual partnership, ketika terjadi isu penggusuran, dan sebagainya. Sehingga tidak ada politisasi ataupun mobilisasi kepentingan dari kelompok luar.

Tidak ada jeleknya, Satpol PP Jakarta belajar dari Satpol PP di daerah misalnya di Solo yang kini telah memiliki kesadaran ”ideologis” baru. Mereka bekerja untuk penegakan hukum dan ketertiban dengan bersama masyarakat. Watak humanis, toleran dipadukan dengan kebijakan Pemkot Solo yang mencoba nguwongke (memartabatkan) masyarakat marginal. (10)

— Ari Kristianawati, guru SMA Negeri 1 Sragen, pemerhati sosial dan transformasi konflik


Wacana Suara Merdeka 16 April 2010