Pelayanan Publik Vs Anggaran



MASYARAKAT kini sedang harap-harap cemas menanti apakah Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang secara normatif akan berlaku Juni 2010 bisa direalisasikan. Aturan ini sangat menjanjikan karena mengatur standar pelayanan, tanggung jawab penyelenggara pelayanan publik, dan hak-hak publik atas pelayanan.

Bahkan memuat pelayanan administrasi sipil yang secara tegas harus diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Janji manis ini kalau tidak dipersiapkan dengan baik hanya akan menjadi janji semata, mengingat kemampuan pengelolaan anggaran di badan publik dan lembaga-lembaga pelayanan publik masih memprihatinkan.


Simak saja komposisi penggunaan anggaran di APBN ataupun APBD selama ini. Rata-rata separo dari anggaran sudah terserap untuk biaya rutin, seperti belanja pegawai, peralatan pendukung operasional kegiatan, termasuk biaya perjalanan dinas dan biaya jamuan. Dengan begitu, kalau kemudian aturan tentang pelayanan publik diterapkan dengan standar tertentu, bahkan ada yang gratis, bisa dibayangkan besarnya kebutuhan anggarannya agar hal itu bisa terlaksana.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 yang terdiri atas 10 bab dan 62 pasal ini merupakan aturan pokok yang agak ketinggalan kereta mengingat sebelumnya sudah terbit UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Jauh sebelum UU Pelayanan Publik disahkan, lembaga Ombudsman sudah diatur mengenai fungsi dan perannya, yaitu mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan.

Hal itu melingkupi di pusat ataupun daerah, termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN, serta  badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu (Pasal 6 UU Ombudsman RI). Dalam konteks ini, Lembaga Ombudsman bertugas menangani pengaduan atau keluhan masyarakat meski UU Pelayanan Publik belum lahir.

Dalam kondisi ada kekosongan UU, penanganan pengaduan atau keluhan masyarakat masih memakai tolok ukur dari beberapa peraturan, sepertu Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Kepmenpan Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Instansi Pemerintah, Kepmenpan Nomor 26 Tahun 2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan sebagainya.

Kesiapan

Kini persoalannya apakah unit-unit pelayanan publik yang ada sudah siap melaksanakan UU Pelayanan Publik mengingat standar pelayanan dan penanganan keluhan yang ditetapkan cukup tinggi?  Hal lainnya juga patut diwaspadai mengingat sanksi atas pelanggaran dalam UU Pelayanan Publik sangat jelas, terstruktur, dan berjenjang, hingga terbuka kemungkinan kesalahan dalam pelayanan publik akibat (hukum)-nya ditanggung oleh beberapa personel dalam unit pelayanan publik yang ada.

Yang sering kali ditunggu dalam konteks penerapan pelayanan publik adalah hak-hak yang diberikan kepada masyarakat pengguna jasa. Hak-hak tersebut kelihatannya normatif, tapi kalau kita cermati khususnya pada Pasal 18 (i)  yakni mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan, tidaklah mudah penerapannya.

Dari sisi asasnya saja ada 12 asas yang harus dipenuh seperti kepastian hukum, kesamaan hak, keprofesionalan, tidak diskriminatif, keterbukaan, tepat waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Sementara kriteria berkualitas tentu bisa muncul perdebatan panjang, jika pemerintah tidak mengatur lebih lanjut tentang kriteria tersebut.

Tekanan besar berpeluang terjadi mengingat penanganan pengaduan internal yang tidak terselesaikan, bisa dibawa ke Ombudsman. Dan penanganan oleh Ombudsman melalui proses mediasi dan ajudikasi (keputusan Ombudsman) ini dalam UU Nomor  37 Tahun 2008  dijamin yang diperoleh secara cuma-cuma ini tentu akan memudahkan masyarakat membuat pengaduan.

Yang paling menjadi pokok penanganan pengaduan oleh Ombudsman adalah menangani keluhan masyarakat korban maladministrasi publik, contohnya menunda pelayanan, tidak sopan, menyalahgunakan kekuasaan, tidak adil, diskriminatif, minta imbalan di luar peraturan yang berlaku dan sebagainya.  Soal anggaran, kita tidak perlu jauh-jauh mencari gambaran. Alokasi dana untuk pendidikan yang secara tegas diatur dalam UU sebesar 20 persen dari APBN ataupun APBD, sampai saat ini pun masih sulit dipenuhi. 

Kalau pelayanan publik yang cakupannya tidak hanya menyangkut pendidikan tapi juga kesehatan, ketenagakerjaan, penyediaan infrastruktur, dan pelayanan administrasi sipil harus dipenuhi, berapa anggaran yang dibutuhkan?

Sekadar mengingatkan, karena UU mengatur pelayanan administrasi sipil seperti KTP dan kartu keluarga (Kk) harus diberikan secara cuma-cuma, berarti pemerintah harus siap menanggung biaya pembuatan KTP dan KK untuk penduduk yang berjumlahnya 300 juta jiwa lebih.(10)

— Daryanto, alumnus Fakultas Hukum Unissula, Ketua Masyarakat Peduli Anggaran Negara (Mapang)

Wacana Suara Merdeka 16 April 2010