Sengkarut Jaminan Sosial



Perkara jaminan sosial nasional merupakan sesuatu yang sangat mendesak. Pembahasan RUU jaminan kesehatan di Amerika sampai memaksa Obama mengurungkan niatnya datang ke Indonesia.
Betapa tidak. Obama harus bekerja keras untuk melobi setidaknya seratus anggota parlemen. Sejumlah upaya dilakukannya untuk memperoleh dukungan: lobi via telepon, rapat dengan anggota Kongres, atau pidato di stasiun televisi nasional. Hasilnya, 212 senator menolak, sedangkan 219 lainnya meloloskan RUU kesehatan tersebut. Obama pun berpidato, ”Ini adalah kemenangan untuk rakyat Amerika, kemenangan untuk akal sehat.”
Kegigihan yang ditunjukkan Obama semestinya menjadi sentilan bagi kita semua. Seperti yang terjadi di Amerika, meloloskan RUU jaminan sosial nasional bukan perkara mudah. Namun, semangat memperbaiki kehidupan dan keberpihakan yang jelas kepada kepentingan masyarakat membuat berbagai kendala bisa diatasi. Semangat yang sama seharusnya juga dimiliki segenap pemangku kepentingan di republik ini, baik itu legislatif, eksekutif, maupun masyarakat sipil.


Kebijakan akal sehat
Obama ada benarnya. Keputusan membangun sebuah sistem jaminan sosial bukan sekadar perkara kepentingan rakyat, melainkan juga akal sehat. Adalah tidak masuk akal membiarkan sebagian besar warga negara menghadapi risiko akibat status sosial-ekonomi yang disandangnya. Pada 19 oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU yang mengamanatkan tak hanya jaminan kesehatan, tetapi juga jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Kelima jaminan ini berlaku untuk seluruh rakyat di republik ini dan bukan hanya mereka yang tercatat dalam data orang miskin di BPS.
Jaminan sosial tidak hanya berlaku bagi populasi tertentu, tetapi juga bagi siapa saja yang berwarga negara Indonesia. Setiap penduduk yang sakit mendapatkan layanan kesehatan kapan pun dan di mana pun dia berada. Setiap lansia akan menerima uang pensiun setiap bulan sampai ia meninggal. Setiap anak yang orangtuanya meninggal akan mendapat bantuan keuangan sampai si anak bisa mandiri secara ekonomi.
Sayangnya, dari sepuluh PP dan sembilan perpres yang diperintahkan UU SJSN untuk ditindaklanjuti, hanya satu perpres yang sudah dibuat oleh pemerintahan SBY. Perpres tersebut tentang Tata Kerja dan Organisasi Dewan Jaminan Sosial (DJSN). Sementara badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) yang merupakan salah satu syarat mutlak SJSN bisa dijalankan tak pernah dibentuk. Empat lembaga yang diperintahkan menjadi penyelenggara SJSN adalah Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri.
Secara tegas UU menyatakan ”Semua ketentuan yang mengatur mengenai BPJS... disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan” (Pasal 52 Ayat 2). Artinya, seharusnya keempat lembaga yang diperintahkan UU sudah jadi BPJS pada 19 Oktober 2009. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Hingga saat ini kita belum memiliki BPJS seperti yang diperintahkan UU SJSN. Padahal, UU SJSN tanpa BPJS ibarat macan ompong.
Perlu sebuah UU untuk membentuk BPJS. DPR periode sekarang menyepakati untuk menjadikan RUU BPJS sebagai salah satu prioritas Program Legislasi Nasional 2010 dan telah disetujui dalam rapat paripurna DPR. Berarti hal yang sama telah pula disepakati oleh pemerintah sebagai prioritas yang harus selesai tahun ini. Namun, belum lagi diputuskan apakah RUU dibahas di Komisi IX atau di pansus gabungan komisi, ”aroma penolakan” sudah menyebar ke mana-mana.
Perdebatan dapat dirangkum jadi dua pokok perkara. Pertama, apakah BPJS harus berupa badan hukum tersendiri seperti amanat UU SJSN. Kedua, apakah BPJS tetap di bawah BUMN atau berbentuk ”BUMN khusus”. Keduanya membuat pembahasan jadi sengit dan berlarut-larut. Padahal, perdebatan sama juga terjadi pada saat pembahasan RUU SJSN hingga kemudian disepakati BPJS harus berupa badan hukum yang tidak berorientasi laba (Pasal 1 UU SJSN). Jadi, seharusnya perdebatan serupa tak perlu terulang dan BPJS tinggal dilaksanakan.
Nirlaba
Di negara mana pun, sebuah sistem jaminan sosial tidak dianggap sebagai urusan usaha bisnis. Dibentuknya sebuah sistem jaminan sosial justru menjadi jawaban atas kegagalan usaha bisnis mewujudkan keadilan sosial sekaligus kepastian perlindungan yang berkelanjutan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Untuk menjalankan sebuah sistem jaminan sosial yang diperlukan adalah suatu badan tripartit yang independen terhadap birokrasi pemerintahan (berarti penyelenggara juga tidak bisa kementerian) yang disebut wali amanat, board of trustee (DJSN dalam UU SJSN). Badan ini terdiri atas wakil-wakil peserta, yaitu pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan unsur lain yang dianggap memiliki kemampuan menjalankan fungsi wali amanat. Badan lain yang dibutuhkan adalah sebuah badan hukum, yang disebut badan penyelenggara publik yang bukan BUMN (BPJS dalam UU SJSN).
Selama ini keempat badan penyelenggara yang diperintahkan oleh UU SJSN ada di bawah BUMN. Orientasinya adalah laba karena hakikat BUMN sendiri memang lembaga pencari laba untuk kas negara. Meskipun keempat badan tersebut kini tak lagi dimintai dividen, ”orientasi laba” belum juga sirna. Sebagai bukti, uang peserta masih diinvestasikan di bursa-bursa saham. Bahkan, salah satu lembaga jaminan sosial disinyalir menyimpan sebagian dana di bank bermasalah. Apakah peserta jaminan sosial tahu? Jika lembaga bersangkutan mengalami kerugian siapa yang akan menanggung? Seharusnya peserta memperoleh pengetahuan mengenai kinerja lembaga jaminan sosial. Sebab, uang yang dikelola adalah uang peserta, uang dari potongan upah para pekerja setiap bulan, bukan uang pemerintah.
Jika republik ini ingin memiliki sebuah sistem jaminan sosial nasional, tentu badan penyelenggaranya mutlak tidak boleh berorientasi pada laba. Sebab, dana yang dikelola adalah dana amanat milik semua peserta, yaitu seluruh rakyat. Peruntukannya harus sebesar-besarnya demi pelayanan publik. Jika ada dana yang diinvestasikan, itu pun harus sepengetahuan dan berdasar kesepakatan seluruh peserta. Jika ada sisa hasil usaha, itu pun menjadi milik semua peserta. Keuntungan tidak boleh dibagikan kepada sekelompok orang atau pemerintah, seperti yang terjadi pada BUMN. Dana sisa hasil usaha bisa digunakan untuk pengurangan iuran tahun berikutnya, sebagai dana cadangan umum bagi seluruh peserta atau untuk perbaikan pelayanan publik. Sifat nirlaba niscaya harus melekat pada penyelenggara jaminan sosial nasional dan itu hanya mungkin apabila BPJS direalisasikan.
Rieke Diah Pitaloka Anggota Komisi IX DPR

Opini Kompas 17 April 2010