Budaya Politik Pilkada Semarang



KONSTELASI politik Kota Semarang dalam pilkada Minggu besok akan jadi magnet dan mengundang perhatian tersendiri. Tidak saja hasil pilkada yang akan menentukan arah Semarang lima tahun ke depan, namun budaya dan dinamika politik masyarakat kekinian.

Masyarakat Kota Semarang adalah potret warga dengan kemudahan akses informasi politik yang didukung ketercukupan media massa. Berikut potret budaya politik masyarakat yang ditangkap dengan metode survei yang diselenggarakan Yayasan JalanMata (6-8 April 2010) dengan sampel 278 responden di 16 kecamatan, di 32 kelurahan, dan 64 RT. Dengan metode multistage random sampling, memiliki toleransi kesalahan 5% pada tingkat kepercayaan 90%.


Di tengah terpaan situasi ekonomi, sosial, dan budaya, masyarakat Kota Semarang nampaknya tidak memiliki ketertarikan cukup tinggi dalam politik, seperti yang digambarkan Gabriel A Almond dan G  Bingham Powell (1976) dalam bukunya Comparative Politics: A Developmental Approach, bahwa budaya politik menyangkut sikap, keyakinan, nilai, dan orientasi individu terhadap politik di antara anggota sistem politik. Beragam ritual politik dalam format pemilu yang diselenggarakan setelah reformasi boleh jadi menjadi memori kolektif yang memengaruhi ketertarikan masyarakat. Hasil survei memperlihatkan derajat ketertarikan masyarakat terhadap politik, yaitu ketikdaktertarikannya dengan politik 67 persen, sangat tidak tertarik 9,1 persen, tertarik 22,1 persen, dan sangat tertarik 1,8 persen.

Rendahnya ketertarikan masyarakat kota Semarang terhadap politik menjadi kian kuat ketika kehidupan politik lokal tidak banyak memberikan perubahan pada tingkat kesejahteraan. Persoalan ekonomi, seperti harga 9 bahan pokok, merupakan isu utama yang langsung memengaruhi kondisi kesejahteraan. Salah satu perubahan yang nampak nyata pada politik lokal hanya pada sirkulasi elite lokal, sementara perubahan dalam ranah kebijakan publik belum sepenuhnya dirasakan substansinya.

Rendahnya ketertarikan masyarakat terhadap politik berdampak pada intensitas masyarakat dalam memperbincangkan isu-isu politik dalam keseharian. Sebagian besar masyarakat tidak pernah memperbincangkan isu-isu politik, yaitu 43,5 persen menyatakan tidak pernah, kadang-kadang 46,7 persen, hanya 9,1 persen dan 0,7 persen yang sering dan sering sekali memperbincangkan.
Isu-isu politik nampaknya menjadi komoditas perbincangan masyarakat kelas menengah dan elite politik, sementara perbincangan masyarakat lebih pada isu-isu ekonomi yang langsung berkaitan dengan hajat hidupnya. Isu politik bukanlah isu seksi yang dikonsumsi.

Perbincangan politik dilakukan secara informal dalam obrolan ringan yaitu keluarga menjadi lingkungan paling besar. Perbincangan politik yang dilakukan di lingkungan keluarga 32,1 persen, teman dekat 30,1 persen, dan tetangga 23,9 persen. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa keluarga merupakan ruang sosialisasi politik yang cukup berpengaruh. Pada keluargalah keputusan-keputusan politik masyarakat banyak ditentukan. Siapa yang akan dipilih dalam pilkada nanti misalnya, keseragaman pilihan antara bapak, ibu, dan anak kemungkinan terjadi.
Cukup Baik Meskipun dalam derajat ketertarikan terhadap politik dan intensitas memperbincangkan isu politik rendah, dalam mengikuti perkembangan politik nampak cukup baik. Ada 47,8 persen menyatakan sering mengikuti perkembangan politik dengan televisi sebagai media yang paling banyak (88 persen) digunakan untuk mengikuti perkembangan.

Dalam dimensi penyelenggaraan pilkada pengetahuan terhadap pelaksanaan pilkada memperlihatkan adanya keberhasilan sosialisasi yang dilaksanakan oleh KPUD, yaitu mayoritas masyarakat mengetahui pelaksanaan pilkada. Dari pengetahuan itulah harapan akan pilkada dengan tingkat partisipasi cukup tinggi bisa didambakan.

Bagaimanapun juga ketidaktahuan masyarakat terhadap kompetisi-kompetisi politik selama ini merupakan salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi. Di samping tentunya persepsi terhadap calon-calon yang berkompetisi, ikatan emosional, ideologis, dan kegagalan partai politik dalam meyakinkah pemilih. (10)


Wacana Suara Merdeka 17 April 2010