Remunerasi untuk Apa?



KASUS Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak  golongan III a dengan take home pay Rp 12 juta lebih, yang terlibat dalam mafia pajak menjadi tamparan keras bagi pelaksanaan kebijakan remunerasi. Seperti diketahui, telah diterbitkan Keputusan Menkeu Nomor 289/KMK.01/2007 berkaitan dengan reformasi birokrasi, yang salah satunya mengatur tentang remunerasi PNS di Depkeu.

Kebijakan remunerasi tersebut didesain khusus untuk menghilangkan perilaku korup pada PNS, namun kini masyarakat mempertanyakan manfaat remunerasi bagi PNS, jika perilakunya masih saja koruptif. Kasus Gayus memperlihatkan secara vulgar seorang PNS yang sudah diberikan remunerasi besar, masih saya korupsi dan merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar.


Kebobrokan perilaku oknum seperti Gayus itu perlu dijadikan kesempatan meninjau kembali remunerasi yang selama ini dinilai diskriminatif. Dari puluhan kementerian, nominal gaji pegawai Depkeu jauh di atas rata-rata PNS secara keseluruhan.

Menurut Mandy Jennings dan Amanda Noe (2003), remunerasi memiliki tujuan untuk menarik, memotivasi, dan mempertahankan pegawai yang kompeten, serta membantu organisasi mencapai tujuannya dengan meningkatkan kesetaraan internal dan eksternal.
Diskriminatif  Untuk diketahuipada tahun 1980-an di Amerika Serikat menempatkan penekanan pada imbalan pribadi atas dasar bahwa individu yang sangat termotivasi bisa mengubah organisasi dan masyarakat.

Sekadar catatan, pemerintah kita telah mengalokasikan Rp.13,9 triliun untuk tambahan remenurasi reformasi birokrasi di beberapa kementerian dan lembaga. Rinciannya Rp10,6 triliun pada APBN 2010 dan ditambahkan Rp 3,3 triliun pada APBN Perubahan.

Hakikatnya, tambahan remunerasi tidak memiliki landasan hukum kuat karena bersifat parsial antara kementerian atau lembaga dan hanya menjadi bentuk legalisasi menguras uang negara.

Atas dasar tersebut, perlu untuk membentuk regulasi yang mengatur penghasilan pejabat dalam konteks pemberian remunerasi demi reformasi birokrasi. Peraturan tersebut diadakan demi memberi patokan dalam menaikkan tunjangan, supaya pemerintah tidak seenaknya dalam memberikan remunerasi.

Daripada memprioritaskan pada program remunerasi, akan lebih produktif jika memperbaiki pola rekrutmen pegawai dengan memperhatikan SDM unggul tetapi memprioritaskan aspek akhlak dan budi pekerti. Kunci sukses reformasi birokrasi bukan semata-mata terletak pada perbaikan sistem remunerasi, melainkan juga sistem perekrutan pegawai dan sistem pemantauan kinerja.

Buku Reformasi Birokrasi Amplop (2006) yang ditulis Dwiyanto Indiahono menguraikan lemahnya proses rekrutmen seleksi pegawai serta pengembangan SDM yang tidak terprogram, dengan banyaknya birokrasi publik yang diisi oleh tenaga yang tidak profesional dan hanya atas dasar rasa suka dan tidak suka.

Di beberapa negara, kenaikan gaji pegawai baru dilakukan setelah kinerja birokrasi terbukti membaik. Sementara di Indonesia, gaji pegawai didongkrak begitu saja dengan sekadar mengasumsikan bahwa tindakan itu akan berdampak memperbaiki sikap mental dan perilaku pegawai ataupun kinerja birokrasi secara keseluruhan. Karena itu, di banyak negara kenaikan gaji baru diberikan setelah kinerja pegawai/birokrasi benar-benar memenuhi standar yang telah ditentukan.

Di negara kita, sistem remunerasi PNS ini masih diskriminatif dan penerapan di Depkeu berpijak pada pola kasta. Dalam hal ini, pegawai/pejabat Depkeu memperoleh kenaikan gaji/tunjangan paling tinggi dibanding di institusi lain pemerintahan. Perbaikan remunerasi pegawai Depkeu mencapai 70%, sementara di lingkungan kementerian lain hanya mencapai separo.

Jadi, pegawai/pejabat Depkeu menempati kasta paling tinggi dalam konteks perbaikan remunerasi . Kenyataan demikian jelas ini tidak adil, sebab apa bedanya seorang guru, bidan atau dokter puskesmas dengan pegawai Ditjen Pajak atau Ditjen Bea Cukai?

Program reformasi birokrasi dengan peningkatan gaji secara drastis melalui tunjangan remunerasi, ternyata tidak menjamin etos kerja PNS akan patuh dan tidak melakukan penyimpangan.

Padahal etos kerja seorang PNS mengajarkan untuk tidak memandang pekerjaan sebagai sekadar jalan mencari penghasilan semata, namun sebagai jalan untuk menemukan eksistensi, harga diri, dan martabat sebagai seorang  manusia. (10)

— Suharto, PNS di Sragen, mahasiswa S2 magister hukum kebijakan publik UNS


Wacana Suara Merdeka 17 April 2010